Kamis, 04 Oktober 2012

HARMONI KEHIDUPAN


MEMBANGUN HARMONI KEHIDUPAN ANTAR UMAT
BERAGAMA MELALUI PENYIARAN
Persfektif Ajaran Hindu*
Om Dyauh santir antariksam santih, Prthivi santir apah santir,
Osadhayah santih vanaspatayah santir, Visve devah santir brahma santih,
Sarvam santih santir eva santih, Sa ma santir edhi”.
Terjemahannya:
Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, anugrahkanlah kedamaian/keharmonisan di langit, damai di angkasa, damai di bumi, damai di air, damai pada tumbuh-tumbuhan, damai pada pepohonan, damai bagi para dewata, damailah Brahma, damailah alam semesta. Semogalah kedamaian senantiasa datang pada kami, (Yayurveda, XXXVI.17).

I.         Pendahuluan
Keberadaan umat Hindu di Sulawesi Tenggara, sebagian besar adalah melalui program transmigrasi dan sebagian kecil lagi merupakan tugas dinas dari pemerintah baik menjadi PNS, TNI/Polri maupun pegawai BUMN. Umat Hindu di Sulawesi Tenggara, bermukim di 10 Kabupaten/Kota, dari 12 Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Tenggara (Kecuali Kolaka Utara dan Wakatobi), yang didominasi oleh etnis bali, dan sebagian kecil adalah etnis bugis dengan sebutan Hindu Tolotang nya. Berdasarkan data statistik, umat Hindu merupakan penganut agama kedua terbesar setelah umat Islam, yang menempati kurang lebih 200 Desa/kelurahan yang ada di Sultra, dengan jumlah jiwa 250 ribuan jiwa lebih. Keberadaan umat Hindu di Sulawesi Tenggara secara ekonomi sudah sedikit lebih baik, hal ini tentulah  sangat wajar karena telah mendiami Sulawesi Tenggara kurang lebih 40-an tahun, waktu yang boleh dikatakan sudah cukup lama untuk kehidupan seseorang, akan tetapi dari sisi lain, tentu masih banyak yang kurangannya.
Kondisi masyarakat Sulawesi Tenggara yang majemuk, memungkinkan terjadinya gesekan antar umat beragama, gesekan menimbulkan dampak, baik positif maupun negatif. Seberapa jauh dampak yang ditimbulkan sangat tergantung pada tingkat kesadaran umat beragama yang ada di Sulawesi Tenggara menyikapinya. Secara historis, kondisi kehidupan pada masa lampau telah terbina ke arah terwujudnya kehidupan yang penuh toleransi, rukun dan damai, penuh harmoni antar penganut agama yang satu dengan yang lainnya. Demikian halnya selama ini keberadaan antar beragama yang ada di Sulawesi Tenggara telah menunjukan bahwa, masing-masing agama memiliki tujuan yang sama yaitu kehidupan yang harmoni, hal ini tentu diwujudkan oleh masing-masing umat dengan cara patuh terhadap aturan dan hukum yang berlaku di wilayah Sulawesi Tenggara.
Bila kami merenung perjalanan sejarah masa lampu tentang terwujudnya kehidupan harmoni, pernah terjalin antar agama Hindu dan Budha, suatu contoh kehidupan harmoni dalam bentuk sinkritisme konsep, yaitu luluhnya antara Siwa Siddhanta (dari Hindu) dan Budha Mahayana (dari agama Budha) di Jawa Timur. Penyatuan kedua konsep ini dikenal dengan nama “Siwa Budha”. Sampai saat ini masih banyak orang pada umumnya belum bisa membedakan antara Hindu dan Budha, sebagai akibat pengalaman masa lampau. Jalinan yang harmoni antara kedua konsep ini tertuang dalam cerita Bubuksah Gagangaking. Sampai pada puncaknya pada jaman Empu Tantular, dimana peleburan diantara kedua konsep itu tertuang dalam Lontar Sutasoma dengan petikan kalimat: Riweneka datu winuwus, siwa kelawan Budha. Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrua. Yang artinya konon ceritanya dikatakan antara Hindu dan Budha berbeda, namun sesungguhnya satu, tidak ada kebenaran yang mendua.
Menyimak ilustrasi di atas, menggambarkan ada semacam sinyal adanya tali perekat yang menyatukan antara konsep agama masing-masing yang sesungguhnya secara theologis berbeda, namun dalam aspek penerapannya di masyarakat bisa menyatu, duduk berdampingan satu sama lain dalam melaksanakan aktivitas tertentu, terutama dalam aktivitas social, seperti dalam kegiatan FKUB ini. Sikap positif yang perlu ditumbuhkan di kalangan masing-masing umat beragama, untuk mewujudkan apa yang menjadi cita-cita bersama, yaitu mewujudkan kehidupan yang harmoni, adil, makmur, sejahtera, gemah ripah lohjinawi, sagilik saguluk, salunglung sabayantaka, sehingga betul-betul menjadi kenyataan dalam hidup mengarah terwujudnya masyarakat yang jagadhita menurut konsep Hindu.
Kami yakin bahwa pada dasarnya semua ajaran Agama bersumber pada Tuhan Yang Maha Esa, tujuannya adalah agar umatnya dapat mencapai kesejahteraan hidup di dunia ini, dan mencapai kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Dharma dapat berarti agama atau hukum yang mengatur dan menuntun kehidupan segenap makhluk yang ada di alam ini, agar mencapai kebahagiaan, memberi penerangan dan kehidupan harmoni hendaknya mengetahui kebenaran. Dharma atau kebenaran itu meliputi satya, rtam, diksa, tapa, brahma, dan yadnya. Tidak ada orang yang tahu kapan datangnya maut, oleh karena itu, amalkanlah ajaran Dharma setiap saat, orang yang tekun mengamalkan dharma akan selalu mendapatkan keselamatan karena perbuatan baiknya itulah yang melindunginya. Tuhan menciptakan manusia dan memberinya bumi sebagai kamadhuk yang mampu memenuhi keinginannya. Dalam semua agama yang dianut dan diyakini oleh manusia ada pesan agar selalu hidup dalam persaudaraan, dengan tercipta kehidupan harmoni, dan sejahtera dengan mengamalkan agama dengan baik akan mendapatkan rahmat-Nya.
Dalam mengimplementasikan ajaran agama tentunya bukan saja tugas pemerintah dalam hal ini Kementrian Agama saja, akan tetapi tugas kita bersama, terlebih tugas masing-masing tokoh agama termasuk Majelis Agama sebagai payung hukum tertinggi dari masing-masing agama. Tentunya masing-masing agama dalam menanamkan dan mewujudkannya dengan berbagai metode dan strategi. Salah satunya strategi umum yang dilakukan dalam penataan kehidupan beragama adalah melalui media penyiaran Agama. Media penyiaran agama sangat efektif dalam penyampaian dan penanaman nilai-nilai agama, apalagi di zaman modern dewasa ini, pemanfaatan penyiaran dapat dilakukan di berbagai media yang ada dan berbagai suasana. Dengan semakin efektifnya penyiaran agama, kami yakin umat semakin tercerahi, sehingga masing-masing individu dapat memahami, dan sekaligus dapat mengamalkan dengan baik apa yang dipeluk dan diyakini, yang selanjutnya dikembangkan dalam kehidupan keluarganya, kemudian dalam masyarakat luas, sehingga kehidupan harmonis antar umat beragama akan dapat diwujudkan.
Dalam uraian singkat ini kami akan mengulas singkat tentang bagaimana ajaran Hindu mewujudkan kehidupan harmoni antar umat beragama melalui penyiaran Agama berdasarkan ajaran Hindu.

II.      Harmoni Kehidupan Dalam Hindu
Ajaran Hindu bersumber dari kitab suci Veda (Sruti), yang merupakan himpunan wahyu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang diterima oleh orang suci berkaliber Maha Rsi, yang selanjutnya dikembangkan dalam berbagai bentuk kitab tapsir (Smerti). Dalam ajaran kitab suci Veda, masalah harmoni dijelaskan secara gamblang dalam ajaran tattwam asi, karma phala, dan ahimsa. Tatwam Asi adalah merupakan ajaran sosial tanpa batas, saya adalah kamu, dan sebaliknya kamu adalah saya, dan segala makhluk adalah sama sehingga menolong orang lain berarti menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain berarti pula menyakiti diri sendiri. Sesungguhnya filsafat Tat Twam Asi mengandung makna yang sangat dalam yang mengajarkan agar kita senantiasa mengasihi orang lain atau menyayangi makhluk lainnya. Bila dihayati dan diamalkan dengan baik, maka akan terwujud suatu keharmonisan. Dalam upanisad dikatakan: “Brahma Atma Aikhyam”, yang artinya Brahman (Tuhan) dan atman sama. Tentu kita harus menyadari ajaran ini sangat universal, dan mesti dikembangkan oleh setiap inzan di muka bumi ini.
Tat Twam Asi merupakan kata kunci untuk dapat membina agar terjalinnya hubungangan harmoni, serasi atas dasar asah, asih, asuh di antara sesama hidup. Dalam sastra Hindu disebutkan “Orang arif bijaksana melihat semuanya sama, baik kepada brahmana budiman yang rendah hati, maupun terhadap makhluk hidup lainnya, orang yang hina papa sekalipun, walaupun perbuatan jahat yang dilakukan orang terhadap dirimu, perbuatan seperti orang sadhu hendaknya sebagai balasanmu. Janganlah sekali-kali membalas dengan perbuatan jahat, sebab orang yang berhasrat berbuat kejahatan itu pada hakekatnya akan menghancurkan dirinya sendiri” (Sarasamuscaya 317). Apabila ajaran ini dapat diterapkan tentunya kehidupan harmonis antar umat dapat diwujudkan.
Dalam kitab suci Veda pun disebutkan tentang permohonan hidup harmonis tersebut:
Om Dyauh santir antariksam santih,
Prthivi santir apah santir,
Osadhayah santih vanaspatayah santir,
Visve devah santir brahma santih,
Sarvam santih santir eva santih,
Sa ma santir edhi”.
Terjemahannya.
Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, anugrahkanlah kedamaian di langit, damai di angkasa, damai di bumi, damai di air, damai pada tumbuh-tumbuhan, damai pada pepohonan, damai bagi para dewata, damailah Brahma, damailah alam semesta. Semogalah kedamaian senantiasa datang pada kami”(Yayurveda, XXXVI.17).

            Merujuk mantra kitab Yayurveda di atas, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa secara vertikal maupun horizontal umat manusia sebenarnya merindukan sebuah keseimbangan atau keharmonisan dalam hidup ini, dengan memohon sebuah anugrah kedamaian kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Bahkan anugrah itu dimohonkan bukan saja untuk diri manusia itu saja, akan tetapi kepada seluruh sekalian alam semesta. Yang menjadi sebuah pertanyaan sekarang, apakah umat manusia sudah mampu mewujudkan kerinduannya untuk mencapai kedamaian/keharmonisan itu?
 Yang berikutnya adalah karma phala merupakan suatu hukum sebab akibat (causalitas) atau aksi reaksi. Umat Hindu sangat menyakini akan kebenaran hukum ini. Seseorang akan menjadi baik, hanya dengan berbuat kebaikan, seseorang menjadi papa karena perbuatan jahatnya. Subha asubha prawrtti yaitu baik buruk atau amal dosa dari suatu perbuatan yang merupakan dasar dari pada karma phala dharma yang juga disebut subha karma atau perbuatan baik akan membuahkan kebahagiaan hidup lahir bathin dan karma yang jahat hina dan adharma yang juga dinamakan asubha karma akan mendapatkan pahala berupa penderitaan dan kesengsaraan lahir bathin.
Ahimsa juga merupakan landasan penerapan keharmonisan hidup beragama, Ahimsa berarti tanpa kekerasan. Secara etimologi, ahimsa berarti tidak membunuh, tidak menyakiti makhluk hidup lainnya. Ahimsa parama dharma adalah sebuah kalimat, sederhana namun mengandung makna mendalam. Tidak menyakiti adalah kebajikan yang utama atau dharma tertinggi. Hendaknya setiap perjuangan membela kebenaran tidak dengan perusakan-perusakan, karena sifat merusak, menjarah, memaksakan, mengancam, menteror, membakar dan lain sebagainya sangat bertentangan dengan ahimsa karma, termasuk menyakiti hati umat lain dengan niat yang tidak baik, atau dengan berkata-kata kasar, pedas dan mengumpat. Keutamaan ahimsa karena nilainya yang begitu tinggi sebagaimana yang diungkapkan dengan kalimat-kalimat lainnya sebagai berikut: Ahimsaayah paro dharmah, ahimsaa laksano dharmah, ahimsaa parama tapa, ahimsaa parama satya, maksudnya: Ahimsa adalah kebajikan tertinggi, perbuatan dharma, pengendalian diri tertinggi dan kebenaran tertinggi). Ahimsa juga perjuangan tanpa kekerasan, termasuk tanpa menentang hukum alam. Jika melanggar hukum alam maka akan mengundang reaksi keras. Mereka harus belajar memelihara dan melindungi lingkungan sendiri, agar tercipta kehidupan yang harmonis dan selaras dengan lingkungannya sendiri, Ahimsa ngaranya tan pamati-mati sarwa prani, nguniweh janma manusa (Ahimsa berarti tidak membunuh-bunuh makhluk hidup, terlebih lagi manusia). Sebab dengan membiasakan diri membunuh-buhuh binatang, hati orang menjadi keras. Lama kelamaan melihat pembunuhan manusia tidak akan merupakan hal yang aneh baginya, karena sudah terbiasa dengan hidup kekerasan.
Disamping hal tersebut di atas, jalinan hidup harmonis dapat dibina melalui persahabatan. Bersahabat adalah merupakan suatu kebutuhan sosiologis bagi manusia. Tidak ada manusia normal yamg tidak membutuhkan persahabatan. Ciri-ciri kemanusiaan seseorang baru akan nampak apabila dia berada di tengah-tengah manusia lainnya. Jiwa manusia membutuhkan untuk diterima minimal oleh lingkungannya terdekat. Ada semacam anjuran yang perlu mendapatkan perhatian dalam membina hubungan erat dalam pergaulan hidup.
Bagaimana pandangan (perspektif) keharmonisan menurut ajaran Hindu? menurut ajaran Hindu, dengan konsep kerukunan berupa ajaran tattwam asi, karma phala dan ahimsa sebagaimana diuraikan di atas, akan menjadi tali perekat yang sangat kuat mengarah terbinanya kerukunan beragama di di Sulawesi Tenggara. Kerukunan sangat mutlak diperlukan di negara Indonesia dan secara khusus di Sulawesi tenggara yang kondisinya sangat majemuk/pluralistis dengan beraneka ragam agama yang ada. Justru dengan dasar negara Pancasila, sila 1 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, memungkinkan kehidupan beragama menjadi semakin tumbuh subur, dan harmonis berlandaskan semangat persatuan dan kesatuan bangsa. Dan secara yuridis dengan pasal 29 (ayat 1 dan 2) Undang-Undang Dasar 1945 mengatur keberadaan agama di Indonesia. Ayat 1, mewajibkan setiap warga negara Indonesia untuk beragama, minimal menganut aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Sedangkan ayat 2, bahwa negara menjamin kebebasan untuk memilih agama sesuai hati naruni, tidak dibenarkan adanya pemaksaan terhadap orang yang sudah beragama, serta adanya kebebasan dalam menjalankan ajaran agama sesuai agama dan kepercayaannya masing-masing.
Mengingat kebenaran agama adalah suatu kebenaran mutlak (bersumber pada wahyu Tuhan), yang ajarannya sepenuhnya didasarkan atas keyakinan/kepercayaan tersendiri, yang sudah barang tentu berbeda antara keyakinan agama yang satu dengan keyakinan agama lainnya, meskipun ada unsur-unsur persamaannya. Berdasarkan logika tersebut, wajarlah adanya perbedaan-perbedaan pandangan terhadap satu kebenaran antara agama yang satu dengan yang lainnya. Kita harus menghargai perbedaan-perbedaan tersebut (disadari secara theologis memang berbeda), namun bagaimana kita mencari unsur-unsur persamaannya dijadikan sebagai tali perekat menjalin hubungan yang harmonis antara agama yang satu dengan yang lainnya. Dalam aktivitas sosial diharapkan bisa menyatu duduk bersama diantara umat yang berbeda agama.
Dalam konsep ajaran Hindu, Rgveda I. 164. 46 menjelaskan: Ekam sat viprah bahuda vadanti, yang artinya hanya satu Tuhan akan tetapi orang bijaksana menyebut dengan banyak nama. Hindu memandang tuhan yang satu, dapat disebutkan dengan banyak nama seperti: Agni, Yama, Matariswa dan lain-lain. Dalam kitab suci veda bahkan disebut ribuan nama tuhan (sahasra nama Brahman). Namun sesungguhnya Tuhan hanya satu adanya. Tuhan yang satu itu dapat dipandang dari berbagai sudut, sehingga timbul bermacam-macam nama, sesuai sudut pandang masing-masing. Dalam upaya mewujudkan keharmonisan hidup beragama dapat ditempuh dengan beberapa pendekatan secara manusiawi (tanpa kekerasan) melalui jalan musyawarah intern umat beragama, musyawarah antar umat beragama seperti saat ini, yang memang harus selalu dilakukan, mengadakan dialog dan juga pertemuan/musyawarah antara umat beragama dengan pemerintah antara tokoh-tokoh agama, berkomunikasi langsung saling mengenal satu sama lainnya, duduk berdampingan membahas masalah keharmonisan. Sehingga semakin dapat menghilangkan prasangka buruk sebagai bentuk kesalah pahaman diantara sesama penganut umat beragama satu dengan yang lainnya, niscaya kerukunan hidup beragama dapat terwujud.
Kehidupan harmoni antar umat beragama menjadi dambaan kita semua, sebab bila hal ini terwujud, maka kita akan dapat merasakan satu kedamaian. Keharmonisan perlu dipupuk, dan dikembangkan dalam rangka menumbuhkan rasa kesadaran umat beragama, sehingga terwujudnya rasa persatuan dab kesatuan bangsa sesuai bunyi slogan lambang negara kita “Bhineka Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Ungkapan ini cocok dengan kondisi negara republik Indonesia dan juga Sulawesi tenggara yang terdiri dari beraneka ragam agama, kebudayaan, adat istiadat, etnis dan lain sebagainya, namun pada hakekatnya kita semua adalah satu, yaitu satu bangsa, satu bahasa dan satu tanah air, sebagaimana telah diikrarkan dalam sumpah pemuda. Bila dihayati, keadaan yang beraneka ragam agama akan mewujudkan suatu keindahan. Berbhineka dalam keesaan (berbeda dalam kesatuan/unity in diversity). Seperti halnya sebuah taman bunga yang tumbuh di sekeliling taman membuat taman menjadi indah.

III.        Harmoni Kehidupan Melalui Penyiaran Agama
Pada uraian di atas, telah kami sebutkan tentang ajaran dalam Hindu, yang mengarahkan untuk membangun kehidupan harmonis, yang tentunya masih sangat banyak ajaran lain yang bersumber dalam kitab suci Veda yang mengarahkan untuk membangun keharmonisan guna terbagunnya kehidupan dalam nuansa satyam, siwam dan sundaram.
Dalam ajaran Hindu strategi pembinaan umat oleh PHDI, dilakukan dengan menerapkan yang namanya Sad Dharma yaitu, yaitu enam strategi atau cara dalam meningkatkan sraddha (iman) dan bhakti (taqwa) kepada masyaraka Hindu, yang meliputi: Dharma Wacana (kotbah), Dharma Tula (Diskusi Agama), Dharma Gita (Zikir), Dharma Sadhana (Pengabdian yang tulus), Dharma Yatra (mengunjungi tempat Suci) dan Dharma Santhi (Saling memaafkan). Bagian Sad Dharma ini pula yang dikembangkan oleh para tokoh umat terlebih dalam melaksanakan penyiaran Agama. Penyiaran Agama khususnya di Sulawesi Tenggara telah pula dilakukan. Adapun bagian Sad Dharma yang dikembangkan dalam bentuk penyiaran tersebut diuraikan di bawah ini dalam mewujudkan harmoni kehidupan yaitu:

1.        Dharma Wacana
Istilah Dharma Wacana dalam bahasa kesehariannya adalah ceramah atau kutnah, dimaksudkan sebagai metode penyiaran Agama Hindu yang diberikan secara umum kepada umat Hindu sesuai dengan sifat, tema, bentuk jenis kegiatan keagamaan berasarkan desa (tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan). Dharma Wacana bertujuan untuk meningkatkan pengetahuan untuk penghayatan dan pengamalan kedalam rohani umat serta mutu bhaktinya kepada Agama, masyarakat, bangsa dan negara dalam rangka peningkatan dharma agama dan dharma Negara. Materi Dharma Wacana disampaikan pada setiap kesempatan yang ada, pada dasarnya meliputi semua aspek ajaran agama Hindu yang dikaitkan dengan kehidupan. Dalam hal ini dapat diklasifikasikan ke dalam Sruti, Smerti, Purana, Itihasa dan Sang Sistha. Penyampaian materi disesuaikan dengan jenis kegiatan seperti kegiatan persembahyangan bersama hari purnama dan tilem, resepsi perkawinan, kegiatan pertemuan arisan dan sejenisnya dengan mengungkap beberapa sloka/ayat kitab suci yang relevan dengan thema dan jenis kegiatan itu.
            Metode penyiaran ini paling banyak dilakukan, disamping untuk kepentingan internal dalam meningkatkan sraddha dan bhakti umat Hindu, juga secara ekstrnal adalah untuk saling memahami tentang agama lain, sehingga tumbuh sikap toleransi dan terwujudnya kehidupan harmoni sesama umat. Kenyataan selama ini yang sering terjadi bahwasannya sifat exslusif ada dalam diri, yang hanya melihat kebenaran ada pada diri sendiri, dan tidak ada pada orang lain, demikian juga tentang keyakinan yang dianut, terkadang kita hanya mengatakan bahwa keyakinan kita yang paling baik dan paling benar, keyakinan orang lain itu salah atau keliru, sehingga sering terjadi pelecehan dan penistaan agama orang lain, baik yang secara sengaja maupun dilakukan secara halus. Kalau hal tersebut dilakukan tentu kehidupan harmoni tidak akan terjadi antar umat beragama. Hal ini tentulah sangat keliru, karena semua agama bersumber darin-Nya, goal sama, akan tetapi hanya kemasannya yang berbeda.
            Di Provinsi Sulawesi Tenggara, majelis tertinggi Agama Hindu, telah melakukan kegiatan penyiaran ini, baik melalui TVRI Sulawesi Tenggara, maupun RRI Kendari, disamping melaksanakan pembinaan secara door to door kepada lapisan umat Hindu yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara.

2.        Dharmagita
Dharma Gita artinya metode penyiaran dalam bentuk nyanyian keagamaan, secara tradisional telah dilaksanakan di Sulawesi Tenggara, bahkan pernah menjadi event kegiatan ini yaitu Utsawa Dharmagita X Tingkat Nasional tahun 2008. Kegiatan ini bagi masyarakat etnis Bali disebut makidung, makakawin, magaguritan, atau mamutru. Dalam usaha untuk mempelajari kitab-kitab suci seperti Veda, pembacaan-pembacaan Veda dapat dinyanyikan. Bahkan usaha untuk menyusun atau mengarang lagu-lagu keagamaan sebagai persembahan atau gitanjali perlu digalakkan dikalangan seniman. Dharmagita sebagai strategi penyiaran untuk menyampaikan dan memperdalam keyakinan beragama sangat efektif. Oleh karena itu penyampaian materi ajaran dijalin demikian rupa dalam bentuk lagu/irama yang indah dan menawan, mempesona pembaca dan pendengar-nya. Usaha untuk melestarikan, mengembangkan dharma gita bertujuan untuk tetap menjaga dan memelihara warisan budaya tradisional yang diabadikan kepada keagamaan. Disamping itu melalui dharma gita diharapkan akan mampu memberikan sentuhan rasa kesucian kekhidmatan serta kekhusukan dalam pelaksanaan kegiatan keagamaan. Sumber materi untuk Dharma Gita diambil dari kitab-kitab suci agama Hindu maupun sastra-sastra keagamaan lainnya yang dirangkaikan dalam bentuk geguritan, kidung, kakwin, dan mamutru. Untuk pengembangan lebih jauh perlu ditampilkan karya-karya baru yang berthemakan ajaran agama Hindu. Pengembangan materi dalam kreasi baru ini perlu dilaksanakan dalam rangka memperkaya dan menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Materi Dharma Gita diambil langsung dari kitab suci serta sastra-sastra keagamaan umumnya mempergunakan bahsa sansekerta maupun bahasa Jawa Kuno. Untuk mencapai sasaran/tujuannya perlu diberikan terjemahan yang mempergunakan bahasa yang mudah, seperti bahasa Indonesia atau bahasa daerah setempat. Demikian pula kreasi-kreasi Dharma Gita yang baru tetap membawakan pesan dan thema keagamaan, pemakaian bahasa daerah tidaklah merupakan hambatan bahkan justru sangat diharapkan untuk menumbuhkan rasa ikut meiliki dan ikut bertanggung jawab.
            Metode penyiaran dengan dharma gita ini di Hindu sangat efektif, dalam agama Islam Dharma Gita atau melantunkan kidung suci hampir mirip dengan kegiatan zikir, hal ini tentu juga bertujuan meningkatkan pemahaman umat tentang ajaran agama yang dikemas dengan budaya local, sehingga mudah dimengerti dan dipahami. Umat Hindu di Indonesia, dan secara khusus di Sulawesi Tenggara, dalam pembinaan kegiatan Dharma Gita ini di ayomi oleh sebuah lembaga yang memang diperuntukan untuk itu, yaitu LPDG atau Lembaga Pengembangan Dharmagita, yang ketuanya adalah Pembimas Hindu, dan ini juga bukan saja di bentuk di tingkat Provinsi, akan tetapi juga di tingkat Kabupaten/ Kecamatan/ Desa dan Kelurahan.
            Kalau masing-masing umat lain memahami ini, maka kehidupan harmoni akan dapat terwujud, di Sulawesi Tenggara. Mari kita setiap saat dapat menyanyikan lagu suci, nama-nama suci Tuhan setiap saat, sehingga jiwa kita tercerahi, sehingga kita selalu di tuntun kearah jalan yang benar, dijauhkan dari jalan yang sesat. (Om Asato Ma Sad Gamaya, Tamaso Ma Jyotir Ga Ma Ya).

3.        Dharma Tula
Metode Penyiaran lainnya adalah Dharma Tula, Kata tula berasal dari bahasa sansekerta artinya perimbangan, keserupaan, dan bertimbang. Secara harpiah dharma tula dapat diartikan dengan bertimbang, berdiskusi atau berembug atau temu wicara tentang ajaran agama Hindu dan Dharma dan tentu pula bisa dilakukan antar umat beragama untuk sebuah studi perbandingan Agama. Dalam pelaksanaan dharma Tula ini member kesempatan kepada para peserta diskusi untuk menyampaikan apa yang menjadi permasalahan dalam kehidupan beragamanya, Dharma Tula ini diadakan secara mandiri melibatkan semua potensi terutama generasi muda, menampilkan topik tertentu untuk kemudian dibahas bersama atau dalam kelompok yang ada.
 Dharma Tula dimaksudkan sebagai metoda Penyiaran guna pendalaman ajaran-ajaran agama Hindu melalui peningkatan peran serta yang aktif dari semua peserta. Kegiatan dharma tula sesuai dengan tingkat umur remaja dan dewasa. Oleh karena itu melalui methoda ini setiap peserta akan memperoleh kesempatan mengemukankan pendapatnya atau sebaliknya menerima pendapat dari orang lain yang akan menambah pengetahuannya dibidang agama Hindu dengan dilandasi sikap tenggang rasa dan rasa dan kekeluargaan. Cara serupa ini sangat cocok untuk pendidikan orang dewasa yang dikenal dengan sistem "andragogi". Tujuan lebih jauh adalah dharma tula itu diharapkan tumbuh dan berkembang persepsi baru tentang ajaran agama Hindu yang dikaitkan dengan situasi dan kondisi, sehingga agama akan selalu dapat berperan dikehidupan manusia disepanjang jamani. Materi dharma tula akan sangat baik apabila dapat diambil diketengahkan dari jenis materi yang sesuai dengan tingkat pemahaman serta permasalahan yang dihadapi oleh kelompok yang akan membahasnya. Misalnya dalam kelompok remaja dapat diketengahkan materi ajaran agama Hindu yang berkaitan dengan kehidupan dan permasalahan remaja (kepemudaan). Dengan demikian metoda dharma tula akan dharapkan mencapai titik kulminasi/sasaran. Sedangkan dalam pelaksanaannya dapat dikaitkan dengan kegiatan menyambut/merayakan hari-hari raya keagamaan, seperti Saraswati, Galungan, Kuningan, Siwaratri, Nyepi dan sebagainya. Untuk tidak terlalu banyak menyita waktu dapat dilaksanakan setelah selesainya persembahyangan bersama atau pada harihari libur yang khusus dimanfaatkan untuk itu.
            Media penyiaran yang akrab dengan metoda dharma tula ini akan semakin membuka wawasan tentang agama, peserta dharma tula akan diajak untuk membuka cakra wala berpikirnya, sehingga apa yang menjadi permasalahannya selama ini dapat terjawab, tentu yang dapat memberiakan dharma tula ini adalah orang-orang yang memahami tentang agama. Demikian halnya Dharma Tula ini, bukan saja untuk intrn umat akan tetapi diskusi dalam lintas agama sangat baik untuk dilakukan, sehingga antara tokoh agama yang satu, dengan yang lain saling memahami, sehingga tidak terjadi lagi praduga yang negative terhadap agama  lain, sehingga hidup harmoni, saling berdampingan dapat diwujudkan.

4.             Dharma Santhi
Yang terakhir adalah metoda Penyiaran dengan Dharma Santi, yaitu adalah suatu ajaran untuk mewujudkan perdamaian diantara sesama umat manusia bahkan dengan antar umat beragama yang lain. Acara Dharma Shanti ini dapat dilaksanakan sesuai dengan keperluan situasi dan relevansinya dengan kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan. Kegiatan Dharma Shanti bertujuan untuk saling maaf memaafkan dengan hati dan pikiran yang suci serta ucapan yang tulus iklas. masing-masing pihak secara sadar dan dengan segala keter-bukaan serta kejernihan hati menghapuskan kekilafan dan kealpaan diantara sesama kita.
Metoda penyiaran dengan bentuk Dharma Shanti selama ini di Sulawesi Tenggara telah dilakukan baik di tingkat Provinsi Kabupaten/Kota, Kecamatan, bahkan Desa/ Kleurahan, yang kegiatannya dilaksanakan menyambut Tahun Baru Shaka (hari Raya Nyepi) pada bulan chaitra yang pelaksanaannya dilaksanakan setiap setahun sekali, dengan mengundang berbagai eleman, seperti para Majelis masing-masing agama, tokoh agama, pejabat pemerintah daerah, yang tentunya melibatkan seluruh lapisan masyarakat Hindu. Kegiatan penyiaran dalam bentuk ini, sangat efektif untuk dalam menjalin rasa kekeluargaan, kebersamaan menghargai fluralitas, merangkai perbedaan untuk saling memahami antara pemeluk agama yang satu dengan pemeluk agama yang lain.

IV.   Penutup
Berdasarkan uraian pada pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap agama mendambakan kehidupan harmonis di dunia ini, demikian halnya dalam ajaran Hindu, banyak sekali kita jumbai berbagai petunjuk membangun kehidupan harmonis baik intrn pemeluk, maupun antar pemeluk agama yang lain. Dari sekian banyak ajaran Hindu yang menuntun untuk hidup harmonis diantaranya adalah ajaran Tatwam Asi, yaitu ajaran memandang sama stiap mahkluk, ajaran Ahimsa atau tanpa kekerasan, ajaran punarbhawa yaitu hukum sebab akibat.
Strategi pembinaan umat oleh PHDI, dilakukan dengan menerapkan yang namanya Sad Dharma yaitu, yaitu enam strategi atau cara dalam meningkatkan sraddha (iman) dan bhakti (taqwa) kepada masyaraka Hindu, yang meliputi: Dharma Wacana (kotbah), Dharma Tula (Diskusi Agama), Dharma Gita (Zikir), Dharma Sadhana (Pengabdian yang tulus), Dharma Yatra (mengunjungi tempat Suci) dan Dharma Santi (Saling memaafkan). Bagian Sad Dharma ini pula yang dikembangkan oleh para tokoh umat terlebih dalam melaksanakan penyiaran Agama. Penyiaran Agama khususnya di Sulawesi Tenggara telah pula dilakukan. Adapun bagian Sad Dharma yang dikembangkan dalam bentuk penyiaran Agama adalah Dharma Wacana (Ceramah Agama), Dharma Gita (Nyannyian Keagamaan), Dharma Tula (diskusi keagamaan) dan Dharma Santi (kegiatan saling memaafkan). Keempat hal inilah yang dikembangkan oleh umat Mejelis tertinggi Agama Hindu. Khususnya PHDI Prov. Sultra dalam memberikan pembinaan dalam kegiatan penyiaran Agama, sehingga umat Hindu semakin memahami tentang ajaran Agamanya, demikian halnya umat lain paling tidak memahami tentang Hindu, sehingga tidak ada pandangan miring tentang Hindu. Jika sikap saling memahami telah ada maka akan muncul sikap toleransi, sehingga kehidupan harmoni di Sulawesi Tenggara niscaya akan dapat diwujudkan.

=================================================================
* Materi disiapkan dalam kegiatan dialog Pimpinan Majelis Agama yang dilaksanakan oleh Forum Kerukunan Umat Beragama (FKUB) Provinsi Sulawesi Tenggara, bertempat di Wantilan Pura Penataran Agung Jagadhita Kendari, pada hari kamis, tanggal 22 Desember 2011.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar