MEMBANGUN HARMONI KEHIDUPAN ANTAR UMAT
BERAGAMA MELALUI PENYIARAN
Persfektif Ajaran Hindu*
Om Dyauh santir antariksam
santih, Prthivi santir apah santir,
Osadhayah santih
vanaspatayah santir, Visve devah santir brahma santih,
Sarvam santih santir eva
santih, Sa ma santir edhi”.
Terjemahannya:
Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, anugrahkanlah kedamaian/keharmonisan
di langit, damai di angkasa, damai di bumi, damai di air, damai pada
tumbuh-tumbuhan, damai pada pepohonan, damai bagi para dewata, damailah Brahma,
damailah alam semesta. Semogalah kedamaian senantiasa datang pada kami, (Yayurveda, XXXVI.17).
I.
Pendahuluan
Keberadaan
umat Hindu di Sulawesi Tenggara, sebagian besar adalah melalui program
transmigrasi dan sebagian kecil lagi merupakan tugas dinas dari pemerintah baik
menjadi PNS, TNI/Polri maupun pegawai BUMN. Umat Hindu di Sulawesi Tenggara, bermukim
di 10 Kabupaten/Kota, dari 12 Kabupaten/Kota yang ada di Sulawesi Tenggara
(Kecuali Kolaka Utara dan Wakatobi), yang didominasi oleh etnis bali, dan
sebagian kecil adalah etnis bugis dengan sebutan Hindu Tolotang nya.
Berdasarkan data statistik, umat Hindu merupakan penganut agama kedua terbesar
setelah umat Islam, yang menempati kurang lebih 200 Desa/kelurahan yang ada di
Sultra, dengan jumlah jiwa 250 ribuan jiwa lebih. Keberadaan umat Hindu di
Sulawesi Tenggara secara ekonomi sudah sedikit lebih baik, hal ini tentulah sangat wajar karena telah mendiami Sulawesi
Tenggara kurang lebih 40-an tahun, waktu yang boleh dikatakan sudah cukup lama
untuk kehidupan seseorang, akan tetapi dari sisi lain, tentu masih banyak yang
kurangannya.
Kondisi
masyarakat Sulawesi Tenggara yang majemuk, memungkinkan terjadinya gesekan
antar umat beragama, gesekan menimbulkan dampak, baik positif maupun negatif.
Seberapa jauh dampak yang ditimbulkan sangat tergantung pada tingkat kesadaran
umat beragama yang ada di Sulawesi Tenggara menyikapinya. Secara historis,
kondisi kehidupan pada masa lampau telah terbina ke arah terwujudnya kehidupan
yang penuh toleransi, rukun dan damai, penuh harmoni antar penganut agama yang
satu dengan yang lainnya. Demikian halnya selama ini keberadaan antar beragama yang ada di Sulawesi
Tenggara telah menunjukan bahwa, masing-masing agama memiliki tujuan yang sama
yaitu kehidupan yang harmoni, hal ini tentu diwujudkan oleh masing-masing umat
dengan cara patuh terhadap aturan dan hukum yang berlaku di wilayah Sulawesi
Tenggara.
Bila kami
merenung perjalanan sejarah masa lampu tentang terwujudnya kehidupan harmoni, pernah
terjalin antar agama Hindu dan Budha, suatu contoh kehidupan harmoni dalam
bentuk sinkritisme konsep, yaitu luluhnya antara Siwa Siddhanta (dari Hindu)
dan Budha Mahayana (dari agama Budha) di Jawa Timur. Penyatuan kedua konsep ini
dikenal dengan nama “Siwa Budha”. Sampai saat ini masih banyak orang pada
umumnya belum bisa membedakan antara Hindu dan Budha, sebagai akibat pengalaman
masa lampau. Jalinan yang harmoni antara kedua konsep ini tertuang dalam cerita
Bubuksah Gagangaking. Sampai pada puncaknya pada jaman Empu Tantular, dimana
peleburan diantara kedua konsep itu tertuang dalam Lontar Sutasoma dengan
petikan kalimat: Riweneka datu winuwus,
siwa kelawan Budha. Bhineka tunggal ika tan hana dharma mangrua. Yang
artinya konon ceritanya dikatakan antara Hindu dan Budha berbeda, namun
sesungguhnya satu, tidak ada kebenaran yang mendua.
Menyimak
ilustrasi di atas, menggambarkan ada semacam sinyal adanya tali perekat yang
menyatukan antara konsep agama masing-masing yang sesungguhnya secara theologis
berbeda, namun dalam aspek penerapannya di masyarakat bisa menyatu, duduk
berdampingan satu sama lain dalam melaksanakan aktivitas tertentu, terutama
dalam aktivitas social, seperti dalam kegiatan FKUB ini. Sikap positif yang
perlu ditumbuhkan di kalangan masing-masing umat beragama, untuk mewujudkan apa
yang menjadi cita-cita bersama, yaitu mewujudkan kehidupan yang harmoni, adil, makmur,
sejahtera, gemah ripah lohjinawi, sagilik
saguluk, salunglung sabayantaka, sehingga betul-betul menjadi kenyataan
dalam hidup mengarah terwujudnya masyarakat yang jagadhita menurut konsep Hindu.
Kami yakin
bahwa pada dasarnya semua ajaran Agama bersumber pada Tuhan Yang Maha Esa,
tujuannya adalah agar umatnya dapat mencapai kesejahteraan hidup di dunia ini,
dan mencapai kebahagiaan abadi di akhirat kelak. Dharma dapat berarti agama
atau hukum yang mengatur dan menuntun kehidupan segenap makhluk yang ada di
alam ini, agar mencapai kebahagiaan, memberi penerangan dan kehidupan harmoni
hendaknya mengetahui kebenaran. Dharma atau kebenaran itu meliputi satya, rtam, diksa, tapa, brahma, dan yadnya. Tidak ada orang yang tahu kapan
datangnya maut, oleh karena itu, amalkanlah ajaran Dharma setiap saat, orang
yang tekun mengamalkan dharma akan selalu mendapatkan keselamatan karena
perbuatan baiknya itulah yang melindunginya. Tuhan menciptakan manusia dan
memberinya bumi sebagai kamadhuk yang
mampu memenuhi keinginannya. Dalam semua agama yang dianut dan diyakini oleh
manusia ada pesan agar selalu hidup dalam persaudaraan, dengan tercipta kehidupan
harmoni, dan sejahtera dengan mengamalkan agama dengan baik akan mendapatkan
rahmat-Nya.
Dalam
mengimplementasikan ajaran agama tentunya bukan saja tugas pemerintah dalam hal
ini Kementrian Agama saja, akan tetapi tugas kita bersama, terlebih tugas masing-masing
tokoh agama termasuk Majelis Agama sebagai payung hukum tertinggi dari masing-masing
agama. Tentunya masing-masing agama dalam menanamkan dan mewujudkannya dengan
berbagai metode dan strategi. Salah satunya strategi umum yang dilakukan dalam
penataan kehidupan beragama adalah melalui media penyiaran Agama. Media
penyiaran agama sangat efektif dalam penyampaian dan penanaman nilai-nilai
agama, apalagi di zaman modern dewasa ini, pemanfaatan penyiaran dapat
dilakukan di berbagai media yang ada dan berbagai suasana. Dengan semakin
efektifnya penyiaran agama, kami yakin umat semakin tercerahi, sehingga
masing-masing individu dapat memahami, dan sekaligus dapat mengamalkan dengan
baik apa yang dipeluk dan diyakini, yang selanjutnya dikembangkan dalam
kehidupan keluarganya, kemudian dalam masyarakat luas, sehingga kehidupan
harmonis antar umat beragama akan dapat diwujudkan.
Dalam uraian
singkat ini kami akan mengulas singkat tentang bagaimana ajaran Hindu mewujudkan
kehidupan harmoni antar umat beragama melalui penyiaran Agama berdasarkan
ajaran Hindu.
II. Harmoni Kehidupan Dalam Hindu
Ajaran Hindu
bersumber dari kitab suci Veda (Sruti),
yang merupakan himpunan wahyu dari Ida Sang Hyang Widhi Wasa, yang diterima
oleh orang suci berkaliber Maha Rsi, yang selanjutnya dikembangkan dalam
berbagai bentuk kitab tapsir (Smerti).
Dalam ajaran kitab suci Veda, masalah harmoni dijelaskan secara gamblang
dalam ajaran tattwam asi, karma phala,
dan ahimsa. Tatwam Asi adalah merupakan ajaran sosial tanpa batas, saya adalah
kamu, dan sebaliknya kamu adalah saya, dan segala makhluk adalah sama sehingga
menolong orang lain berarti menolong diri sendiri dan menyakiti orang lain
berarti pula menyakiti diri sendiri. Sesungguhnya filsafat Tat Twam Asi
mengandung makna yang sangat dalam yang mengajarkan agar kita senantiasa
mengasihi orang lain atau menyayangi makhluk lainnya. Bila dihayati dan diamalkan
dengan baik, maka akan terwujud suatu keharmonisan. Dalam upanisad dikatakan: “Brahma Atma Aikhyam”, yang artinya Brahman
(Tuhan) dan atman sama. Tentu kita harus menyadari ajaran ini sangat universal,
dan mesti dikembangkan oleh setiap inzan di muka bumi ini.
Tat Twam Asi merupakan kata kunci untuk
dapat membina agar terjalinnya hubungangan harmoni, serasi atas dasar asah, asih, asuh di antara sesama hidup.
Dalam sastra Hindu disebutkan “Orang arif
bijaksana melihat semuanya sama, baik kepada brahmana budiman yang rendah hati,
maupun terhadap makhluk hidup lainnya, orang yang hina papa sekalipun, walaupun
perbuatan jahat yang dilakukan orang terhadap dirimu, perbuatan seperti orang
sadhu hendaknya sebagai balasanmu. Janganlah sekali-kali membalas dengan
perbuatan jahat, sebab orang yang berhasrat berbuat kejahatan itu pada
hakekatnya akan menghancurkan dirinya sendiri” (Sarasamuscaya 317). Apabila
ajaran ini dapat diterapkan tentunya kehidupan harmonis antar umat dapat
diwujudkan.
Dalam kitab
suci Veda pun disebutkan tentang
permohonan hidup harmonis tersebut:
Om
Dyauh santir antariksam santih,
Prthivi
santir apah santir,
Osadhayah
santih vanaspatayah santir,
Visve
devah santir brahma santih,
Sarvam
santih santir eva santih,
Sa
ma santir edhi”.
Terjemahannya.
Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, anugrahkanlah kedamaian
di langit, damai di angkasa, damai di bumi, damai di air, damai pada
tumbuh-tumbuhan, damai pada pepohonan, damai bagi para dewata, damailah Brahma,
damailah alam semesta. Semogalah kedamaian senantiasa datang pada kami”(Yayurveda, XXXVI.17).
Merujuk mantra kitab Yayurveda di atas, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa secara
vertikal maupun horizontal umat manusia sebenarnya merindukan sebuah
keseimbangan atau keharmonisan dalam hidup ini, dengan memohon sebuah anugrah
kedamaian kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Bahkan anugrah itu dimohonkan
bukan saja untuk diri manusia itu saja, akan tetapi kepada seluruh sekalian
alam semesta. Yang menjadi sebuah pertanyaan sekarang, apakah umat manusia
sudah mampu mewujudkan kerinduannya untuk mencapai kedamaian/keharmonisan itu?
Yang berikutnya adalah karma phala merupakan suatu hukum sebab
akibat (causalitas) atau aksi reaksi. Umat Hindu sangat menyakini akan
kebenaran hukum ini. Seseorang akan menjadi baik, hanya dengan berbuat
kebaikan, seseorang menjadi papa karena perbuatan jahatnya. Subha asubha prawrtti yaitu baik buruk
atau amal dosa dari suatu perbuatan yang merupakan dasar dari pada karma phala dharma yang juga disebut subha karma atau perbuatan baik akan
membuahkan kebahagiaan hidup lahir bathin dan karma yang jahat hina dan adharma
yang juga dinamakan asubha karma akan mendapatkan pahala berupa penderitaan dan
kesengsaraan lahir bathin.
Ahimsa juga
merupakan landasan penerapan keharmonisan hidup beragama, Ahimsa berarti tanpa
kekerasan. Secara etimologi, ahimsa berarti tidak membunuh, tidak menyakiti
makhluk hidup lainnya. Ahimsa parama
dharma adalah sebuah kalimat, sederhana namun mengandung makna mendalam.
Tidak menyakiti adalah kebajikan yang utama atau dharma tertinggi. Hendaknya
setiap perjuangan membela kebenaran tidak dengan perusakan-perusakan, karena
sifat merusak, menjarah, memaksakan, mengancam, menteror, membakar dan lain sebagainya
sangat bertentangan dengan ahimsa karma, termasuk menyakiti hati umat lain
dengan niat yang tidak baik, atau dengan berkata-kata kasar, pedas dan
mengumpat. Keutamaan ahimsa karena
nilainya yang begitu tinggi sebagaimana yang diungkapkan dengan kalimat-kalimat
lainnya sebagai berikut: Ahimsaayah paro
dharmah, ahimsaa laksano dharmah, ahimsaa parama tapa, ahimsaa parama satya,
maksudnya: Ahimsa adalah kebajikan
tertinggi, perbuatan dharma, pengendalian diri tertinggi dan kebenaran
tertinggi). Ahimsa juga perjuangan
tanpa kekerasan, termasuk tanpa menentang hukum alam. Jika melanggar hukum alam
maka akan mengundang reaksi keras. Mereka harus belajar memelihara dan
melindungi lingkungan sendiri, agar tercipta kehidupan yang harmonis dan
selaras dengan lingkungannya sendiri, Ahimsa
ngaranya tan pamati-mati sarwa prani, nguniweh janma manusa (Ahimsa berarti
tidak membunuh-bunuh makhluk hidup, terlebih lagi manusia). Sebab dengan
membiasakan diri membunuh-buhuh binatang, hati orang menjadi keras. Lama
kelamaan melihat pembunuhan manusia tidak akan merupakan hal yang aneh baginya,
karena sudah terbiasa dengan hidup kekerasan.
Disamping hal
tersebut di atas, jalinan hidup harmonis dapat dibina melalui persahabatan. Bersahabat
adalah merupakan suatu kebutuhan sosiologis bagi manusia. Tidak ada manusia
normal yamg tidak membutuhkan persahabatan. Ciri-ciri kemanusiaan seseorang baru
akan nampak apabila dia berada di tengah-tengah manusia lainnya. Jiwa manusia
membutuhkan untuk diterima minimal oleh lingkungannya terdekat. Ada semacam
anjuran yang perlu mendapatkan perhatian dalam membina hubungan erat dalam
pergaulan hidup.
Bagaimana
pandangan (perspektif) keharmonisan menurut ajaran Hindu? menurut ajaran Hindu,
dengan konsep kerukunan berupa ajaran tattwam
asi, karma phala dan ahimsa sebagaimana diuraikan di atas, akan menjadi
tali perekat yang sangat kuat mengarah terbinanya kerukunan beragama di di
Sulawesi Tenggara. Kerukunan sangat mutlak diperlukan di negara Indonesia dan
secara khusus di Sulawesi tenggara yang kondisinya sangat majemuk/pluralistis
dengan beraneka ragam agama yang ada. Justru dengan dasar negara Pancasila,
sila 1 yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, memungkinkan kehidupan beragama menjadi
semakin tumbuh subur, dan harmonis berlandaskan semangat persatuan dan kesatuan
bangsa. Dan secara yuridis dengan pasal 29 (ayat 1 dan 2) Undang-Undang Dasar
1945 mengatur keberadaan agama di Indonesia. Ayat 1, mewajibkan setiap warga
negara Indonesia
untuk beragama, minimal menganut aliran kepercayaan kepada Tuhan Yang Maha Esa.
Sedangkan ayat 2, bahwa negara menjamin kebebasan untuk memilih agama sesuai
hati naruni, tidak dibenarkan adanya pemaksaan terhadap orang yang sudah
beragama, serta adanya kebebasan dalam menjalankan ajaran agama sesuai agama
dan kepercayaannya masing-masing.
Mengingat
kebenaran agama adalah suatu kebenaran mutlak (bersumber pada wahyu Tuhan), yang
ajarannya sepenuhnya didasarkan atas keyakinan/kepercayaan tersendiri, yang
sudah barang tentu berbeda antara keyakinan agama yang satu dengan keyakinan
agama lainnya, meskipun ada unsur-unsur persamaannya. Berdasarkan logika
tersebut, wajarlah adanya perbedaan-perbedaan pandangan terhadap satu kebenaran
antara agama yang satu dengan yang lainnya. Kita harus menghargai
perbedaan-perbedaan tersebut (disadari secara theologis memang berbeda), namun
bagaimana kita mencari unsur-unsur persamaannya dijadikan sebagai tali perekat
menjalin hubungan yang harmonis antara agama yang satu dengan yang lainnya.
Dalam aktivitas sosial diharapkan bisa menyatu duduk bersama diantara umat yang
berbeda agama.
Dalam konsep
ajaran Hindu, Rgveda I. 164. 46
menjelaskan: Ekam sat viprah bahuda
vadanti, yang artinya hanya satu Tuhan akan tetapi orang bijaksana menyebut
dengan banyak nama. Hindu memandang tuhan yang satu, dapat disebutkan dengan
banyak nama seperti: Agni, Yama,
Matariswa dan lain-lain. Dalam kitab suci veda bahkan disebut ribuan nama
tuhan (sahasra nama Brahman). Namun
sesungguhnya Tuhan hanya satu adanya. Tuhan yang satu itu dapat dipandang dari
berbagai sudut, sehingga timbul bermacam-macam nama, sesuai sudut pandang
masing-masing. Dalam upaya mewujudkan keharmonisan hidup beragama dapat
ditempuh dengan beberapa pendekatan secara manusiawi (tanpa kekerasan) melalui
jalan musyawarah intern umat beragama, musyawarah antar umat beragama seperti
saat ini, yang memang harus selalu dilakukan, mengadakan dialog dan juga
pertemuan/musyawarah antara umat beragama dengan pemerintah antara tokoh-tokoh
agama, berkomunikasi langsung saling mengenal satu sama lainnya, duduk
berdampingan membahas masalah keharmonisan. Sehingga semakin dapat
menghilangkan prasangka buruk sebagai bentuk kesalah pahaman diantara sesama
penganut umat beragama satu dengan yang lainnya, niscaya kerukunan hidup
beragama dapat terwujud.
Kehidupan
harmoni antar umat beragama menjadi dambaan kita semua, sebab bila hal ini
terwujud, maka kita akan dapat merasakan satu kedamaian. Keharmonisan perlu
dipupuk, dan dikembangkan dalam rangka menumbuhkan rasa kesadaran umat
beragama, sehingga terwujudnya rasa persatuan dab kesatuan bangsa sesuai bunyi
slogan lambang negara kita “Bhineka
Tunggal Ika” yang artinya berbeda-beda tetapi tetap satu jua. Ungkapan ini
cocok dengan kondisi negara republik Indonesia dan juga Sulawesi tenggara yang
terdiri dari beraneka ragam agama, kebudayaan, adat istiadat, etnis dan lain
sebagainya, namun pada hakekatnya kita semua adalah satu, yaitu satu bangsa,
satu bahasa dan satu tanah air, sebagaimana telah diikrarkan dalam sumpah
pemuda. Bila dihayati, keadaan yang beraneka ragam agama akan mewujudkan suatu
keindahan. Berbhineka dalam keesaan (berbeda dalam kesatuan/unity in
diversity). Seperti halnya sebuah taman bunga yang tumbuh di sekeliling taman
membuat taman menjadi indah.
III.
Harmoni Kehidupan
Melalui Penyiaran Agama
Pada uraian di
atas, telah kami sebutkan tentang ajaran dalam Hindu, yang mengarahkan untuk
membangun kehidupan harmonis, yang tentunya masih sangat banyak ajaran lain
yang bersumber dalam kitab suci Veda yang
mengarahkan untuk membangun keharmonisan guna terbagunnya kehidupan dalam
nuansa satyam, siwam dan sundaram.
Dalam ajaran
Hindu strategi pembinaan umat oleh PHDI, dilakukan dengan menerapkan yang
namanya Sad Dharma yaitu, yaitu enam strategi atau cara dalam meningkatkan sraddha (iman) dan bhakti (taqwa) kepada masyaraka Hindu, yang meliputi: Dharma Wacana
(kotbah), Dharma Tula (Diskusi Agama), Dharma Gita (Zikir), Dharma Sadhana
(Pengabdian yang tulus), Dharma Yatra (mengunjungi tempat Suci) dan Dharma
Santhi (Saling memaafkan). Bagian Sad Dharma ini pula yang dikembangkan oleh para
tokoh umat terlebih dalam melaksanakan penyiaran Agama. Penyiaran Agama
khususnya di Sulawesi Tenggara telah pula dilakukan. Adapun bagian Sad Dharma
yang dikembangkan dalam bentuk penyiaran tersebut diuraikan di bawah ini dalam
mewujudkan harmoni kehidupan yaitu:
1.
Dharma Wacana
Istilah
Dharma Wacana dalam bahasa kesehariannya adalah ceramah atau kutnah, dimaksudkan
sebagai metode penyiaran Agama Hindu yang diberikan secara umum kepada umat
Hindu sesuai dengan sifat, tema, bentuk jenis kegiatan keagamaan berasarkan desa
(tempat), kala (waktu) dan patra (keadaan). Dharma Wacana bertujuan untuk
meningkatkan pengetahuan untuk penghayatan dan pengamalan kedalam rohani umat
serta mutu bhaktinya kepada Agama, masyarakat, bangsa dan negara dalam rangka
peningkatan dharma agama dan dharma Negara. Materi Dharma Wacana disampaikan
pada setiap kesempatan yang ada, pada dasarnya meliputi semua aspek ajaran
agama Hindu yang dikaitkan dengan kehidupan. Dalam hal ini dapat
diklasifikasikan ke dalam Sruti, Smerti, Purana, Itihasa dan Sang Sistha.
Penyampaian materi disesuaikan dengan jenis kegiatan seperti kegiatan persembahyangan
bersama hari purnama dan tilem, resepsi perkawinan, kegiatan pertemuan arisan
dan sejenisnya dengan mengungkap beberapa sloka/ayat kitab suci yang relevan
dengan thema dan jenis kegiatan itu.
Metode
penyiaran ini paling banyak dilakukan, disamping untuk kepentingan internal
dalam meningkatkan sraddha dan bhakti umat Hindu, juga secara ekstrnal adalah untuk
saling memahami tentang agama lain, sehingga tumbuh sikap toleransi dan
terwujudnya kehidupan harmoni sesama umat. Kenyataan selama ini yang sering
terjadi bahwasannya sifat exslusif ada dalam diri, yang hanya melihat kebenaran
ada pada diri sendiri, dan tidak ada pada orang lain, demikian juga tentang
keyakinan yang dianut, terkadang kita hanya mengatakan bahwa keyakinan kita
yang paling baik dan paling benar, keyakinan orang lain itu salah atau keliru,
sehingga sering terjadi pelecehan dan penistaan agama orang lain, baik yang
secara sengaja maupun dilakukan secara halus. Kalau hal tersebut dilakukan
tentu kehidupan harmoni tidak akan terjadi antar umat beragama. Hal ini
tentulah sangat keliru, karena semua agama bersumber darin-Nya, goal sama, akan
tetapi hanya kemasannya yang berbeda.
Di
Provinsi Sulawesi Tenggara, majelis tertinggi Agama Hindu, telah melakukan
kegiatan penyiaran ini, baik melalui TVRI Sulawesi Tenggara, maupun RRI Kendari,
disamping melaksanakan pembinaan secara door
to door kepada lapisan umat Hindu yang ada di wilayah Sulawesi Tenggara.
2.
Dharmagita
Dharma Gita
artinya metode penyiaran dalam bentuk nyanyian keagamaan, secara tradisional
telah dilaksanakan di Sulawesi Tenggara, bahkan pernah menjadi event kegiatan
ini yaitu Utsawa Dharmagita X Tingkat Nasional tahun 2008. Kegiatan ini bagi masyarakat
etnis Bali disebut makidung, makakawin,
magaguritan, atau mamutru. Dalam
usaha untuk mempelajari kitab-kitab suci seperti Veda, pembacaan-pembacaan Veda
dapat dinyanyikan. Bahkan usaha untuk menyusun atau mengarang lagu-lagu keagamaan
sebagai persembahan atau gitanjali
perlu digalakkan dikalangan seniman. Dharmagita sebagai strategi penyiaran untuk
menyampaikan dan memperdalam keyakinan beragama sangat efektif. Oleh karena itu
penyampaian materi ajaran dijalin demikian rupa dalam bentuk lagu/irama yang
indah dan menawan, mempesona pembaca dan pendengar-nya. Usaha untuk
melestarikan, mengembangkan dharma gita bertujuan untuk tetap menjaga dan
memelihara warisan budaya tradisional yang diabadikan kepada keagamaan.
Disamping itu melalui dharma gita diharapkan akan mampu memberikan sentuhan
rasa kesucian kekhidmatan serta kekhusukan dalam pelaksanaan kegiatan
keagamaan. Sumber materi untuk Dharma Gita diambil dari kitab-kitab suci agama
Hindu maupun sastra-sastra keagamaan lainnya yang dirangkaikan dalam bentuk
geguritan, kidung, kakwin, dan mamutru. Untuk pengembangan lebih jauh perlu
ditampilkan karya-karya baru yang berthemakan ajaran agama Hindu. Pengembangan
materi dalam kreasi baru ini perlu dilaksanakan dalam rangka memperkaya dan
menyesuaikan dengan perkembangan jaman. Materi Dharma Gita diambil langsung
dari kitab suci serta sastra-sastra keagamaan umumnya mempergunakan bahsa
sansekerta maupun bahasa Jawa Kuno. Untuk mencapai sasaran/tujuannya perlu
diberikan terjemahan yang mempergunakan bahasa yang mudah, seperti bahasa Indonesia
atau bahasa daerah setempat. Demikian pula kreasi-kreasi Dharma Gita yang baru
tetap membawakan pesan dan thema keagamaan, pemakaian bahasa daerah tidaklah
merupakan hambatan bahkan justru sangat diharapkan untuk menumbuhkan rasa ikut
meiliki dan ikut bertanggung jawab.
Metode
penyiaran dengan dharma gita ini di Hindu sangat efektif, dalam agama Islam
Dharma Gita atau melantunkan kidung suci hampir mirip dengan kegiatan zikir,
hal ini tentu juga bertujuan meningkatkan pemahaman umat tentang ajaran agama
yang dikemas dengan budaya local, sehingga mudah dimengerti dan dipahami. Umat
Hindu di Indonesia, dan secara khusus di Sulawesi Tenggara, dalam pembinaan
kegiatan Dharma Gita ini di ayomi oleh sebuah lembaga yang memang diperuntukan
untuk itu, yaitu LPDG atau Lembaga Pengembangan Dharmagita, yang ketuanya
adalah Pembimas Hindu, dan ini juga bukan saja di bentuk di tingkat Provinsi,
akan tetapi juga di tingkat Kabupaten/ Kecamatan/ Desa dan Kelurahan.
Kalau
masing-masing umat lain memahami ini, maka kehidupan harmoni akan dapat
terwujud, di Sulawesi Tenggara. Mari kita setiap saat dapat menyanyikan lagu
suci, nama-nama suci Tuhan setiap saat, sehingga jiwa kita tercerahi, sehingga
kita selalu di tuntun kearah jalan yang benar, dijauhkan dari jalan yang sesat.
(Om Asato Ma Sad Gamaya, Tamaso Ma Jyotir
Ga Ma Ya).
3.
Dharma Tula
Metode
Penyiaran lainnya adalah Dharma Tula, Kata tula berasal dari bahasa sansekerta
artinya perimbangan, keserupaan, dan bertimbang. Secara harpiah dharma tula
dapat diartikan dengan bertimbang, berdiskusi atau berembug atau temu wicara
tentang ajaran agama Hindu dan Dharma dan tentu pula bisa dilakukan antar umat
beragama untuk sebuah studi perbandingan Agama. Dalam pelaksanaan dharma Tula
ini member kesempatan kepada para peserta diskusi untuk menyampaikan apa yang
menjadi permasalahan dalam kehidupan beragamanya, Dharma Tula ini diadakan
secara mandiri melibatkan semua potensi terutama generasi muda, menampilkan
topik tertentu untuk kemudian dibahas bersama atau dalam kelompok yang ada.
Dharma Tula dimaksudkan sebagai metoda Penyiaran
guna pendalaman ajaran-ajaran agama Hindu melalui peningkatan peran serta yang
aktif dari semua peserta. Kegiatan dharma tula sesuai dengan tingkat umur remaja
dan dewasa. Oleh karena itu melalui methoda ini setiap peserta akan memperoleh
kesempatan mengemukankan pendapatnya atau sebaliknya menerima pendapat dari
orang lain yang akan menambah pengetahuannya dibidang agama Hindu dengan
dilandasi sikap tenggang rasa dan rasa dan kekeluargaan. Cara serupa ini sangat
cocok untuk pendidikan orang dewasa yang dikenal dengan sistem
"andragogi". Tujuan lebih jauh adalah dharma tula itu diharapkan
tumbuh dan berkembang persepsi baru tentang ajaran agama Hindu yang dikaitkan
dengan situasi dan kondisi, sehingga agama akan selalu dapat berperan
dikehidupan manusia disepanjang jamani. Materi dharma tula akan sangat baik
apabila dapat diambil diketengahkan dari jenis materi yang sesuai dengan
tingkat pemahaman serta permasalahan yang dihadapi oleh kelompok yang akan
membahasnya. Misalnya dalam kelompok remaja dapat diketengahkan materi ajaran
agama Hindu yang berkaitan dengan kehidupan dan permasalahan remaja
(kepemudaan). Dengan demikian metoda dharma tula akan dharapkan mencapai titik
kulminasi/sasaran. Sedangkan dalam pelaksanaannya dapat dikaitkan dengan
kegiatan menyambut/merayakan hari-hari raya keagamaan, seperti Saraswati,
Galungan, Kuningan, Siwaratri, Nyepi dan sebagainya. Untuk tidak terlalu banyak
menyita waktu dapat dilaksanakan setelah selesainya persembahyangan bersama
atau pada harihari libur yang khusus dimanfaatkan untuk itu.
Media
penyiaran yang akrab dengan metoda dharma tula ini akan semakin membuka wawasan
tentang agama, peserta dharma tula akan diajak untuk membuka cakra wala
berpikirnya, sehingga apa yang menjadi permasalahannya selama ini dapat
terjawab, tentu yang dapat memberiakan dharma tula ini adalah orang-orang yang
memahami tentang agama. Demikian halnya Dharma Tula ini, bukan saja untuk intrn
umat akan tetapi diskusi dalam lintas agama sangat baik untuk dilakukan,
sehingga antara tokoh agama yang satu, dengan yang lain saling memahami,
sehingga tidak terjadi lagi praduga yang negative terhadap agama lain, sehingga hidup harmoni, saling
berdampingan dapat diwujudkan.
4.
Dharma Santhi
Yang terakhir
adalah metoda Penyiaran dengan Dharma Santi, yaitu adalah suatu ajaran untuk
mewujudkan perdamaian diantara sesama umat manusia bahkan dengan antar umat
beragama yang lain. Acara Dharma Shanti ini dapat dilaksanakan sesuai dengan
keperluan situasi dan relevansinya dengan kegiatan keagamaan dan kemasyarakatan.
Kegiatan Dharma Shanti bertujuan untuk saling maaf memaafkan dengan hati dan
pikiran yang suci serta ucapan yang tulus iklas. masing-masing pihak secara
sadar dan dengan segala keter-bukaan serta kejernihan hati menghapuskan
kekilafan dan kealpaan diantara sesama kita.
Metoda
penyiaran dengan bentuk Dharma Shanti selama ini di Sulawesi Tenggara telah
dilakukan baik di tingkat Provinsi Kabupaten/Kota, Kecamatan, bahkan Desa/
Kleurahan, yang kegiatannya dilaksanakan menyambut Tahun Baru Shaka (hari Raya
Nyepi) pada bulan chaitra yang pelaksanaannya dilaksanakan setiap setahun
sekali, dengan mengundang berbagai eleman, seperti para Majelis masing-masing
agama, tokoh agama, pejabat pemerintah daerah, yang tentunya melibatkan seluruh
lapisan masyarakat Hindu. Kegiatan penyiaran dalam bentuk ini, sangat efektif
untuk dalam menjalin rasa kekeluargaan, kebersamaan menghargai fluralitas,
merangkai perbedaan untuk saling memahami antara pemeluk agama yang satu dengan
pemeluk agama yang lain.
IV. Penutup
Berdasarkan
uraian pada pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa setiap agama
mendambakan kehidupan harmonis di dunia ini, demikian halnya dalam ajaran
Hindu, banyak sekali kita jumbai berbagai petunjuk membangun kehidupan harmonis
baik intrn pemeluk, maupun antar pemeluk agama yang lain. Dari sekian banyak
ajaran Hindu yang menuntun untuk hidup harmonis diantaranya adalah ajaran
Tatwam Asi, yaitu ajaran memandang sama stiap mahkluk, ajaran Ahimsa atau tanpa
kekerasan, ajaran punarbhawa yaitu hukum sebab akibat.
Strategi
pembinaan umat oleh PHDI, dilakukan dengan menerapkan yang namanya Sad Dharma
yaitu, yaitu enam strategi atau cara dalam meningkatkan sraddha (iman) dan bhakti
(taqwa) kepada masyaraka Hindu, yang meliputi: Dharma Wacana (kotbah), Dharma
Tula (Diskusi Agama), Dharma Gita (Zikir), Dharma Sadhana (Pengabdian yang
tulus), Dharma Yatra (mengunjungi tempat Suci) dan Dharma Santi (Saling
memaafkan). Bagian Sad Dharma ini pula yang dikembangkan oleh para tokoh umat
terlebih dalam melaksanakan penyiaran Agama. Penyiaran Agama khususnya di
Sulawesi Tenggara telah pula dilakukan. Adapun bagian Sad Dharma yang
dikembangkan dalam bentuk penyiaran Agama adalah Dharma Wacana (Ceramah Agama),
Dharma Gita (Nyannyian Keagamaan), Dharma Tula (diskusi keagamaan) dan Dharma
Santi (kegiatan saling memaafkan). Keempat hal inilah yang dikembangkan oleh
umat Mejelis tertinggi Agama Hindu. Khususnya PHDI Prov. Sultra dalam
memberikan pembinaan dalam kegiatan penyiaran Agama, sehingga umat Hindu
semakin memahami tentang ajaran Agamanya, demikian halnya umat lain paling
tidak memahami tentang Hindu, sehingga tidak ada pandangan miring tentang
Hindu. Jika sikap saling memahami telah ada maka akan muncul sikap toleransi,
sehingga kehidupan harmoni di Sulawesi Tenggara niscaya akan dapat diwujudkan.
=================================================================
* Materi disiapkan dalam kegiatan
dialog Pimpinan Majelis Agama yang dilaksanakan oleh Forum Kerukunan Umat
Beragama (FKUB) Provinsi Sulawesi Tenggara, bertempat di Wantilan Pura
Penataran Agung Jagadhita Kendari, pada hari kamis, tanggal 22 Desember 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar