Sabtu, 23 November 2013

Membangun Keharmonisan Dengan Bhakti Marga Yoga


I Nengah Sumendra, S.Ag, M.Fil.H
Om Dyauh santir antariksam santih,
Prthivi santir apah santir,
Osadhayah santih vanaspatayah santir,
Visve devah santir brahma santih,
Sarvam santih santir eva santih,
Sa ma santir edhi”.
Terjemahannya.
Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, anugrahkanlah kedamaian di langit, damai di angkasa, damai di bumi, damai di air, damai pada tumbuh-tumbuhan, damai pada pepohonan, damai bagi para dewata, damailah Brahma, damailah alam semesta. Semogalah kedamaian senantiasa datang pada kami”(Yayur Veda, XXXVI.17).

Merujuk mantra kitab Yayur Veda di atas, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa secara vertikal maupun horizontal umat manusia sebenarnya merindukan sebuah keseimbangan atau keharmonisan dalam hidup ini, dengan memohon sebuah anugrah kedamaian kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Bahkan anugrah itu dimohonkan bukan saja untuk diri manusia itu tetapi kepada seluruh sekalian alam semesta. Yang menjadi sebuah pertanyaan sekarang, apakah umat manusia sudah mampu mewujudkan kerinduannya untuk mencapai kedamaian/keharmonisan itu ?....
            Dalam sebuah pengakuan kita mengakui dan diakui sebagai orang yang beragama, dengan status orang yang beragama itu, mestinya orang-orang beragama mampu memberikan penyembuhan (konseling) terhadap dirinya disaat-saat mengalami goncangan kejiwaan akibat dari suatu masalah, dimana orang-orang psikologi menyebutnya dengan ‘kekusutan mental’, yaitu dengan menggunakan sastra-sastra agama sebagai konsling atau terapi psikis terhadap dirinya. Tetapi kenyataannya tidak sedikit orang-orang beragama yang jiwanya tidak harmonis, sikap dan tindakannya justru tidak mencerminkan orang-orang beragama, serta tidak mampu memberikan konseling terhadap dirinya. Pernyataan ini diperkuat dengan fenomena yang sering terjadi disekitar kehidupan kita, misalnya; Terjadinya pertikaian antara kelompok masyarakat satu dengan kelompok masyarakat yang lain, baik karena perbedaan ras, suku, agama, golongan, profesi, dll.Terjadinya pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga antara suami dengan istri, antara orang tua dengan anaknya. Banyak orang stres dan kemudian struk akibat yang awalnya kaya kemudian jatuh miskin, tidak siap dengan kemiskinannya. Banyak terjadi kasus bunuh diri (salah pati) akibat beban hidup dan hal-hal yang sepele. Dan masih banyak lagi tindakan sara,anarkis,depresi kejiwaan yang mestinya tidak dilakukan oleh orang-orang beragama. Karena  pada dasarnya kelahiran sebagai manusia adalah kelahiran yang sangat mulia dan mampu menolong dirinya disaat-saat mengalami sebuah masalah dan kekusutan mental (kesengsaraan). Keyakinan ini diperkuat seperti apa yang tersirat dalam pustaka suci Sarasamuccaya,2 dan 4 seperti berikut: Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wenang gumawayaken ikang subha asubhakarma, kuneng panentasakna ring subhakarma juga ikang asubhakarma phalaning dadi wwang”. Terjemahannya: “Diantara semua makhluk hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan perbuatan baik ataupun buruk, leburlah kedalam perbuatan baik, segala perbuatan yang buruk itu, demikianlah gunanya menjadi manusia”(Sarasamuccaya,2). “Apan iking dadi wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wenang ya tumulung awaknya sangkeng sangsara, maka sadhanang subhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika”. Terjemahannya. “Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh utama, sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari kadaan sengsara, dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma menjadi manusia” (Sarasamuccaya,4).
            Berdasarkan sloka pustaka suci Sarasamuccaya di atas, memberikan jaminan kepada umat manusia bahwa manusia itu mampu menolong dirinya dari penderitaan yang dialami. Sehingga tanpa beragamapun manusia mestinya mampu menyelamatkan dirinya dari lembah kesengsaraan, apalagi ditambah sebagai manusia yang beragama dan meyakini sastra-sastra agama itu, maka sebenarnya manusia lebih mampu membentengi dan memperkokoh jasmani dan rohaninya disaat mengalami bentuk kekusutan mental apapun.  Apalagi tujuan orang beragama adalah untuk mencapai kebahagiaan jasmani dan rohani, kebahagiaan di dunia dan di alam sunya (moksartam jagadhita). Terkait dengan orang-orang yang mengalami depresi mental itu, jadi teringat dengan sebuah slogan yaitu; ‘Bahwa hidup ini adalah sebuah perjuangan, berjuang dan terus berjuang’. Ternyata dalam pustaka suci Bhagavadgita, II.47 sepirit bahwa hidup ini adalah perjuangan juga di kumandangkan, seperti berikut ini;
            “Ma te sango ‘stv akarmani”.
             Terjemahannya.
             Jangan berdiam diri tanpa kerja”.
             Sloka Bhagavadgita ini memberikan sebuah pesan kepada umat manusia bahwa dalam hidup ini tidak boleh lemah disaat mengalami kesulitan, tetapi harus selalu mengorbarkan perjuangan untuk selalu bisa bangkit dari keterpurukan. Semangat ini juga sejalan dengan apa yang tersirat dalam Bhagavadgita, II.40, sebagai berikut:
            “Ne ‘ha ‘bhikramanaso ‘sti,
            pratyavayo na vidyate,
            Svalvam apy asya dharmasya,
            Trayate mahato bhayat”.
Terjemahannya.
“Dalam hal ini tiada uasaha sia-sia, tiada rintangan tidak teratasi, walau sedikit dari dharma ini akan membebaskan cengkraman ngeri”(Bhagavadgita, II.40).

            Kembali kita menyimak fenomena ketidak harmonisan yang dialami oleh orang-orang ber-agama seperti yang disebutkan tadi, apakah penyebabnya?, tentu penyebabnya tidak hanya satu faktor saja, tetapi banyak faktor penyebab dari semua itu. Namun salah satu penyebab dari semua itu dari kaca mata agama adalah karena selama ini kita beragama tidak seimbang. Ketidak seimbangan yang dimaksud yaitu baik dalam aspek pengetahuan (kognitif), sikap (apektif) dan perilaku (psikomotor).
            Pertama, dalam aspek kognitif. Banyak orang yang beragama hanya mencari pengetahuan saja tetapi tidak berupaya untuk memahami, memaknai kemudian lebih dari itu melaksanakan pesan dan intruksi apa yang dikandung dalam sastra itu, apabila tidak demikian pengetahuan yang dimiliki itu akan menjadi kering, pasif dan tidak memberi manfaat apa-apa terhadap orang itu, tanpa ditindaklanjuti dengan sikap dan perilaku sesuai pesan dan intruksinya. Sehingga pengetahuan yang dimiliki itu menjadi mandeg (stagnasi) sekalipun orang itu hafal dengan semua isi dari kitab suci sekalipun. Kemudian yang parah lagi banyak orang-orang yang berpengetahuan justru tidak menggiring dirinya kepada sebuah kebijaksanaan, tetapi justru menggiring dirinya kearah sebuah keangkuhan intelektual. Apabila sudah mengarah pada keangkuhan intelektual maka yang ada, tidak lagi kebijaksanaan, justru yang ada paling-paling bejek sana dan bejek sini. Fenomena ini sering kita saksikan baik di media cetak maupun elektronik, sering terjadi debat opini yang tidak ada ujung pangkalnya,  karena semua ingin menonjolkan ke-sujanaannya. Apabila situasi seperti ini terus berlanjut, adalah awal dari ketidak harmonisan, ketidak harmonisan adalah awal dari kehancuran.
            Kedua, dalam aspek apektif dan psikomotor. Banyak orang yang beragama melakukan aktivitas keagamaannya tanpa berusaha mencari, memahami sastra yang mendasarinya, sehingga tidak jarang aktivitas keagaamaan yang dilakukan menyimpang dari hakikat/esensinya, yaitu dengan tujuan untuk menciptakan keharmonisan dan kebahagiaan di dunia dan seluruh sekalian alam. Tetapi sangat ironis sekali aktivitas keagamaan yang dilakukannya justru menyisakan dan menambah serentetan masalah yang berujung pada sebuah konflik baru. Misalnya;  Dalam pelaksanaan upacara/yajna yang bersekala besar, tentunya untuk menyukseskan upacara itu maka dibutuhkan sebuah kepanitiaan untuk mengatur kelancaran dari pelaksanaan upacara itu, dalam hal ini apabila tidak ada kesadaran untuk ber-yajna sesuai dengan apa yang menjadi intruksi, pesan dan sepirit yang mendasari dari pelaksanaan upacara itu tentunya akan mengalami hambatan. Maka tidak heran apabila kesadaran ber-yajna itu tidak dimiliki oleh setiap komponen dari orang-orang yang melaksanakan upacara itu, ini membawa kecenderungan kepada masalah/konflik baru. Contoh;  Maaf, sering terjadi kasus dari kepanitiaan ber-yajna yang orientasinya keuntungan (profit orientit), sehingga sering terjadi harga kunyit naik menjadi harga kucit (babi). Demikian juga halnya umat yang lain, ada juga yang hanya cuci tangan tetapi dalam hal nunas prasadam tidak ada yang mau kalah, semua memiliki “daya juang” yang tinggi, “apa ada juang”, semua ingin dapat bagian yang lebih dari yang lain.
            Fenomena-fenomena yang terjadi akibat dari ketidak seimbangan antara aspek kognitif, apektif dan psikomotor yang dimiliki oleh orang ber-agama di atas harus menjadi bahan renungan bagi kita semua, bahwa mestinya mulai sekarang mari latih diri kita untuk beragama secara seimbang dengan meramu ketiga aspek itu. Terkait dengan itu mari kita berguru kepada sastra, di antaranya sebagai bahan renungan seperti Mantra/Sloka berikut ini:

1.         Merujuk pada sumber Atharva Veda, ada ditegaskan sebagai berikut:

            Satyam brhad rtam ugram diksa, tapo brahma yajna prthivim dharayanti”.
Terjemahannya,
“sesungguhnya kebenaran (satya), hukum (rta), inisiasi (diksa), pengendalian indria (tapa), pujian atau doa (brahma), pengorbanan (yajna) adalah yang menyangga bumi”( Atharva Veda XII.1.1).

Kutipan mantra tersebut secara sederhana dapat dijelaskan bahwa ada enam langkah untuk menjaga/menyangga Bumi (Alam Semesta), baik dalam perjalanan Atman untuk menurunkan Jagadhita/Siva membumi (Siva Lingga) dan disaat perjalanan Atman menuju naik dalam kehidupan spiritualnya untuk Moksa (Atma Lingga).

2.         Merujuk pada sumber Agastya Parwa, ada ditegaskan sebagai berikut:

“Kalinganya: tiga ikan karyamuhara swarga; tapa, yajna, kirtti,…lewih tekan tapa saken yajna, lewih tekan yajna saken kirtti, ikan tigan siki prawrtti-kadharma naran ika, kunan ikan yoga yeka nirwrtti-kadharma naranya”.
 Terjemahannya.
“Ada tiga macam yang menyebabkan sorga, yaitu tapa, yajna, kirtti,…adapun keutamaan dari pada tapa atau pengendalian diri munculnya atau tumbuhnya dari yajna atau persembahan atau pemujaan, sedangkan keutamaan dari pada yajna atau persembahan/pemujaan munculnya dari kirtti atau kerja/pengabdian, demikianlah ketiganya itu disatukan yang disebut prawrtti-kadharma, tetapi mngenai ajaran yoga itu disebut dengan nirwrtti-kadharma”.

            Kutipan sloka tersebut secara sederhana dapat dijelaskan bahwa tentang tiga macam perbuatan (karma) yang menyebabkan seseorang dapat menciptakan sorga di dunia, baik dalam dirinya, orang lain maupun seluruh sekalian alam (Bhuana Agung), ketiga perbuatan itu disebut prawrtti kadharma, yaitu tapa, yajna, kirtti. Prawrtti kadharma ini gerakannya bersifat eksternalisasi, artinya memiliki putaran keluar dengan menempatkan Bhuana Agung sebagai objek kajian. Yang dimasud disini adalah bagaimana seorang secara eksternalisasi berusaha menciptakan Jagadhita, untuk membangun peradaban manusia lain (divine society), linkungan sekitar dan seluruh sekalian alam (divine ekosistem). Sedangkan Nirwrtti kadharma gerakannya bersifat internalisasi, artinya memiliki putaran kedalam dengan menempatkan Bhuana Alit sebagai objek kajian. Yang dimaksud disini adalah bagaimana seorang secara internalisasi berusaha untuk mengintrospeksi diri (mulat sarira) dalam bahasa yang lain adalah mayoga artinya melakukan sebuah perenungan untuk membangun jiwa yang stabil.

3. Merujuk pada sumber Niti Sataka dan Canakya Niti Sastra, ada ditegaskan sebagai berikut:

“Orang bodoh mudah diajari, orang berpengetahuan paham dengan hanya  sedikit diberi petunjuk, sedangkan orang yang memiliki sedikit ilmu pengetahuan     merasa dirinya paling pandai, Dewa Brahma sekalipun tidak dapat mengajarinya”(Niti Sataka,2).

          “Ilmu pengetahuan adalah sahabat dalam perjalanan, pengtahuan kebenaran/dharma adalah sahabat bagi orang yang akan/sedang  menemui ajal”(Canakya Niti Sastra,15).
           
            Berdasarkan Sloka di atas memberikan sebuah pesan kepada umat manusia untuk menjadi manusia yang berpengetahuan yang penuh dengan kebijaksanaan dan tidak menutup diri untuk menerima kritik dan saran yang positif untuk membangun diri kearah kesempurnaan, serta berpegang kepada sebuah slogan bahwa dalam hidup ini tidak lagi belajar seumur hidup (long life education), tetapi sampai dan saat kematianpun manusia harus terus berguru dan belajar, belajar dan terus belajar. Agar saatnya kelak roh itu punya bekal pengetahuan yang cukup untuk menuju alam kedewataan dengan pikiran, perkataan, dan karakter kedewataan pula (daivi sampad). Sehingga setelah roh itu melinggih menjadi Bhatara Hyang Guru tidak lagi hanya ngepongorin pratisantana-nya (menyakiti keturunannya) saja, akibat dari roh itu tidak punya bekal pengetahuan yang cukup di saat hidup dan disaat kematian,.
            Kembali kepada tema yang dibicarakan pada kesempatan ini yaitu Membangun Keharmonisan Individual dan Komunal dengan Bhakti Marga. Mengapa dengan jalan Bhakti?, kenapa tidak dengan salah satu jalan yang lain yang ada dalam Catur Marga?, dengan Karma atau Jnana misalnya?. Karena Bhakti dalam Catur Marga apabila diandaikan sebuah rumah,  Bhakti adalah pondasinya. Bhakti berasal dari bahasa sanskerta yaitu dari urat kata ‘Bhaj’ yang artinya hormat, sujud. Kemudian Bhakti ini mengalami perluasan arti Bhakti juga berarti kesucian, ketulus ikhlasan, olas asih, menyayangi, mencintai karena unsur-unsur ini include di dalamnya.
            Sekarang coba mari kita renungi, mengapa Bhakti itu adalah pondasi dari Catur Marga itu?. Seorang di jalan Karma,  Jnana, dan Raja, tidak akan berhasil dalam jalan itu tanpa ada rasa Bhakti dalam dirinya. Sebenarnya seorang mau ber-Karma, menekuni Jnana, dan menekuni Raja Marga, karena paling tidak orang itu punya rasa Bhakti terhadap dirinya baik untuk kebutuhan sekarang maupun persiapan untuk dimasa yang akan datang.
            Bhakti Marga adalah salah satu dari ajaran Catur Marga. Catur Marga adalah empat jalan untuk membangun keharmonisan untuk menuju kebahagiaan baik secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal untuk membangun keharmonisan antara manusia dengan Tuhan-nya, sehingga apabila ini dapat dibangun maka akan muncul cahaya-cahaya ke-Ilahian dalam diri (divine man). Secara horizontal untuk membangun keharmonisan antara manusia dengan manusia yang lainnya dalam kehidupan sosialnya, sehingga muncul cahaya-cahaya ke-Ilahian dalam kehidupan bermasyarakat atau kelompok tertentu (divine society). Selanjutnya membangun keharmonisan antara manusia dengan lingkungannya, sehingga muncul cahaya-cahaya ke-Ilahian dalam lingkungan sekitar (divine ekosistem).
            Apabila keharmonisan dan cahaya-cahaya ke-Ilahian itu dapat terus dibangun, maka konsep ajaran Siva Lingga yaitu konsep ajaran Siva membumi (mensorgakan dunia) seperti dalam pelaksanaan upacara Ngenteg Linggih dapat kita wujudkan. Tetapi sekarang jangankan untuk menciptakan sorga di bumi, untuk memunculkan cahaya-cahaya ke-Ilahian dalam diri saja kita belum mampu, bagaimana mau memberikan pibrasi positif kepada orang lain atau lingkungan, yang ada adalah merasakan sorga dunia banyak. Bagaimana rasanya sorga dunia, nano-nano…...?.
            Terkait dengan  Membangun Keharmonisan Individual dan Komunal dengan Bhakti Marga, bahwa segala sesuatu yang kita lakukan oleh orang atau kelompok apapun itu, dalam hidup ini harus didasari dengan rasa Bhakti, tanpa rasa Bhakti akibatnya akan membuat sebuah beban dan masalah baru yang berujung pada sebuah konflik yang berbau sara dan anarkis. Intruksi bahwa segala sesuatu yang kita lakukan dalam hidup ini harus didasari rasa Bhakti seperti apa yang tersirat dalam pustaka suci Bhagavadgita, IX.27, sebagai berikut;
            “Yat karoshi yad asnasi,
            yaj juhoshi dadasi yat,
            yat tapasyasi kaunteya,
            tat kurushva madarpanam”.
 Terjemahannya.
“Apapun yang kau kerjakan, kau makan, kau persembahkan, kau dermakan, dan disiplin diri apapun kau laksanakan, lakukanlah swadharma itu, Kunti putra sebagai Bhakti pada-Ku”.

            Berdasarkan sloka Bhagavadgita di atas, ini memberikan sebuah pesan bahwa disiplin apapun yang kita lakukan hendaknya dilakukan dengan penuh rasa Bhakti. Dalam sebuah instansi/lembaga tertentu; baik pimpinan maupun bawahan, kelompok kerja yang satu dengan kelompok kerja yang lain, dalam kehidupan rumah tangga; baik Suami maupun istri, orang tua dengan anak, dll. Hendaknya mereka semua melaksanakan swadharma-nya masing-masing dengan penuh rasa Bhakti. Apabila sudah demikian maka unsur-unsur Bhakti seperti hormat, sujud, tulus ikhlas, mencintai, menyayangi, kesucian olas asih akan dapat dibangun, kondisi ini akan dapat meredam fenomena-fenomena yang terjadi seperti yang dikemukakan di atas.
            Selanjutnya terkait dengan  Membangun Keharmonisan Individual dan Komunal dalan sastra suci Hindu yakni dalam kitab Itihasa Ramayana yang telah digubah dalam bentuk Kakawin Ramayana Bab I sloka 3 menyebutkan Sang Dasaratha sebagai sosok manusia yang utama yang mampu membangun keharmonisan bagi dirinya dan orang lain, dengan cara seperti berikut.
“Gunamanta sang Dasaratha, Wruh sira ring Veda, Bhakti ring Deva tan marlupeng pitra puja, masih ta sireng swagotra kabeh”.        
Terjemahannya.
“Bahwa Raja Dasaratha adalah seorang pemimpin yang memahami pengetahuan suci Veda, taat beragama, Bhakti kepada Tuhan dan tidak melupakan leluhur/pendahulu-pendahulunya, serta adil dan mengasihi seluruh rakyatnya.
                       
            Apabila semua orang sudah dipenuhi dengan rasa Bhakti maka secara perlahan-lahan akan bermuara pada ajaran agama Hindu yang sangat maha agung, universal dan mulia bahwa sesungguhnya kita dituntun untuk membangun persatuan dalam kebhinekaan/keanekaragaman (unity in diversity), kita dituntun untuk menyadari bahwa sesungguhnya kita satu hakekat (intisari) seperti yang di kumandangkan dalam sastra-sastra Hindu yang kita yakini yaitu;
a.       Tat Tvam Asi, artinya Aku adalah Kamu, Kamu adalah Aku.
b.      Vasu Daiva Kuthum Bhakam, artinya Kita ini adalah bersaudara, satu keluarga dalam seru sekalian alam.
c.       Sarvam Khalu Idam Brahman, artinya Bahwa semua yang ada ini berasal dari dan atau bersumber dari Brahman (Tuhan).
            Apabila semua orang sudah menyadari, kemudian melaksanakan pesan dan intruksi sesuai dengan petunjuk sastra-sastra agama yang kita yakini, maka sesuai tema pada kesempatan ini, maka keharmonisan individual dan komunal dapat diwujudkan. Untuk itu mari laksanakan Dharma Agama dan Dharma Negara kita berangkat dari membangun keharmonisan baik secara individu maupun secara komunal dengan bhakti marga, karena dengan bhakti dan harmonis itulah konsep mensorgakan dunia seperti filsafat yang terkandung dalam ajaran Siva Lingga dapat kita wujudkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar