I Nengah Sumendra, S.Ag, M.Fil.H |
Om Dyauh santir antariksam santih,
Prthivi santir apah santir,
Osadhayah santih vanaspatayah santir,
Visve devah santir brahma santih,
Sarvam santih santir eva santih,
Sa ma santir edhi”.
Terjemahannya.
Ya Tuhan Yang Maha Kuasa, anugrahkanlah kedamaian di langit, damai di
angkasa, damai di bumi, damai di air, damai pada tumbuh-tumbuhan, damai pada
pepohonan, damai bagi para dewata,
damailah Brahma, damailah alam
semesta. Semogalah kedamaian senantiasa datang pada kami”(Yayur Veda, XXXVI.17).
Merujuk mantra kitab Yayur Veda di atas, secara sederhana dapat dijelaskan bahwa secara
vertikal maupun horizontal umat manusia sebenarnya merindukan sebuah
keseimbangan atau keharmonisan dalam hidup ini, dengan memohon sebuah anugrah
kedamaian kehadapan Ida Sang Hyang Widhi Wasa. Bahkan anugrah itu dimohonkan
bukan saja untuk diri manusia itu tetapi kepada seluruh sekalian alam semesta.
Yang menjadi sebuah pertanyaan sekarang, apakah umat manusia sudah mampu
mewujudkan kerinduannya untuk mencapai kedamaian/keharmonisan itu ?....
Dalam sebuah pengakuan
kita mengakui dan diakui sebagai orang yang beragama, dengan status orang yang
beragama itu, mestinya orang-orang beragama mampu memberikan penyembuhan (konseling) terhadap dirinya disaat-saat
mengalami goncangan kejiwaan akibat dari suatu masalah, dimana orang-orang
psikologi menyebutnya dengan ‘kekusutan
mental’, yaitu dengan menggunakan sastra-sastra agama sebagai konsling atau terapi psikis terhadap
dirinya. Tetapi kenyataannya tidak sedikit orang-orang beragama yang jiwanya
tidak harmonis, sikap dan tindakannya justru tidak mencerminkan orang-orang
beragama, serta tidak mampu memberikan konseling
terhadap dirinya. Pernyataan ini diperkuat dengan fenomena yang sering terjadi
disekitar kehidupan kita, misalnya; Terjadinya pertikaian antara kelompok
masyarakat satu dengan kelompok masyarakat yang lain, baik karena perbedaan
ras, suku, agama, golongan, profesi, dll.Terjadinya pertengkaran
dalam kehidupan rumah tangga antara suami dengan istri, antara orang tua dengan
anaknya. Banyak orang stres dan kemudian struk akibat yang awalnya kaya
kemudian jatuh miskin, tidak siap dengan kemiskinannya. Banyak terjadi kasus
bunuh diri (salah pati) akibat beban
hidup dan hal-hal yang sepele. Dan masih banyak lagi tindakan
sara,anarkis,depresi kejiwaan yang mestinya tidak dilakukan oleh orang-orang
beragama. Karena pada dasarnya kelahiran
sebagai manusia adalah kelahiran yang sangat mulia dan mampu menolong dirinya
disaat-saat mengalami sebuah masalah dan kekusutan mental (kesengsaraan).
Keyakinan ini diperkuat seperti apa yang tersirat dalam pustaka suci Sarasamuccaya,2 dan 4 seperti berikut: Ri sakwehning sarwa bhuta, iking janma wwang juga wenang
gumawayaken ikang subha asubhakarma, kuneng panentasakna ring subhakarma juga
ikang asubhakarma phalaning dadi wwang”. Terjemahannya: “Diantara semua makhluk
hidup, hanya yang dilahirkan menjadi manusia sajalah, yang dapat melaksanakan
perbuatan baik ataupun buruk, leburlah kedalam perbuatan baik, segala perbuatan
yang buruk itu, demikianlah gunanya menjadi manusia”(Sarasamuccaya,2). “Apan iking dadi
wwang, uttama juga ya, nimittaning mangkana, wenang ya tumulung awaknya sangkeng
sangsara, maka sadhanang subhakarma, hinganing kottamaning dadi wwang ika”. Terjemahannya. “Menjelma menjadi manusia itu adalah sungguh-sungguh
utama, sebabnya demikian, karena ia dapat menolong dirinya dari kadaan
sengsara, dengan jalan berbuat baik, demikianlah keuntungannya dapat menjelma
menjadi manusia” (Sarasamuccaya,4).
Berdasarkan sloka pustaka suci Sarasamuccaya di atas, memberikan jaminan kepada umat manusia bahwa
manusia itu mampu menolong dirinya dari penderitaan yang dialami. Sehingga
tanpa beragamapun manusia mestinya mampu menyelamatkan dirinya dari lembah
kesengsaraan, apalagi ditambah sebagai manusia yang beragama dan meyakini
sastra-sastra agama itu, maka sebenarnya manusia lebih mampu membentengi dan
memperkokoh jasmani dan rohaninya disaat mengalami bentuk kekusutan mental
apapun. Apalagi tujuan orang beragama
adalah untuk mencapai kebahagiaan jasmani dan rohani, kebahagiaan di dunia dan
di alam sunya (moksartam jagadhita). Terkait dengan orang-orang yang mengalami
depresi mental itu, jadi teringat dengan sebuah slogan yaitu; ‘Bahwa hidup ini adalah sebuah perjuangan,
berjuang dan terus berjuang’. Ternyata dalam pustaka suci Bhagavadgita, II.47 sepirit bahwa hidup
ini adalah perjuangan juga di kumandangkan, seperti berikut ini;
“Ma te sango ‘stv
akarmani”.
Terjemahannya.
“Jangan
berdiam diri tanpa kerja”.
Sloka Bhagavadgita ini memberikan sebuah pesan kepada umat manusia bahwa dalam hidup ini tidak
boleh lemah disaat mengalami kesulitan, tetapi harus selalu mengorbarkan
perjuangan untuk selalu bisa bangkit dari keterpurukan. Semangat ini juga
sejalan dengan apa yang tersirat dalam Bhagavadgita,
II.40, sebagai berikut:
“Ne ‘ha ‘bhikramanaso ‘sti,
pratyavayo
na vidyate,
Svalvam
apy asya dharmasya,
Trayate
mahato bhayat”.
Terjemahannya.
“Dalam hal ini tiada uasaha sia-sia, tiada rintangan
tidak teratasi, walau sedikit dari dharma
ini akan membebaskan cengkraman ngeri”(Bhagavadgita,
II.40).
Kembali kita menyimak
fenomena ketidak harmonisan yang dialami oleh orang-orang ber-agama seperti
yang disebutkan tadi, apakah penyebabnya?, tentu penyebabnya tidak hanya satu
faktor saja, tetapi banyak faktor penyebab dari semua itu. Namun salah satu penyebab
dari semua itu dari kaca mata agama adalah karena selama ini kita beragama
tidak seimbang. Ketidak seimbangan yang dimaksud yaitu baik dalam aspek
pengetahuan (kognitif), sikap (apektif) dan perilaku (psikomotor).
Pertama, dalam aspek kognitif. Banyak orang yang beragama
hanya mencari pengetahuan saja tetapi tidak berupaya untuk memahami, memaknai
kemudian lebih dari itu melaksanakan pesan dan intruksi apa yang dikandung
dalam sastra itu, apabila tidak demikian pengetahuan yang dimiliki itu akan menjadi
kering, pasif dan tidak memberi manfaat apa-apa terhadap orang itu, tanpa
ditindaklanjuti dengan sikap dan perilaku sesuai pesan dan intruksinya.
Sehingga pengetahuan yang dimiliki itu menjadi mandeg (stagnasi) sekalipun orang itu hafal dengan semua isi dari kitab
suci sekalipun. Kemudian yang parah lagi banyak orang-orang yang berpengetahuan
justru tidak menggiring dirinya kepada sebuah kebijaksanaan, tetapi justru
menggiring dirinya kearah sebuah keangkuhan intelektual. Apabila sudah mengarah
pada keangkuhan intelektual maka yang ada, tidak lagi kebijaksanaan, justru
yang ada paling-paling bejek sana dan
bejek sini. Fenomena ini sering kita
saksikan baik di media cetak maupun elektronik, sering terjadi debat opini yang
tidak ada ujung pangkalnya, karena semua
ingin menonjolkan ke-sujanaannya.
Apabila situasi seperti ini terus berlanjut, adalah awal dari ketidak
harmonisan, ketidak harmonisan adalah awal dari kehancuran.
Kedua, dalam aspek apektif
dan psikomotor. Banyak orang yang beragama melakukan aktivitas keagamaannya
tanpa berusaha mencari, memahami sastra yang mendasarinya, sehingga tidak
jarang aktivitas keagaamaan yang dilakukan menyimpang dari hakikat/esensinya,
yaitu dengan tujuan untuk menciptakan keharmonisan dan kebahagiaan di dunia dan
seluruh sekalian alam. Tetapi sangat ironis sekali aktivitas keagamaan yang
dilakukannya justru menyisakan dan menambah serentetan masalah yang berujung
pada sebuah konflik baru. Misalnya;
Dalam pelaksanaan upacara/yajna yang
bersekala besar, tentunya untuk menyukseskan upacara itu maka dibutuhkan sebuah kepanitiaan untuk mengatur
kelancaran dari pelaksanaan upacara
itu, dalam hal ini apabila tidak ada kesadaran untuk ber-yajna sesuai dengan apa yang menjadi intruksi, pesan dan sepirit
yang mendasari dari pelaksanaan upacara itu tentunya akan mengalami hambatan.
Maka tidak heran apabila kesadaran ber-yajna
itu tidak dimiliki oleh setiap komponen dari orang-orang yang melaksanakan upacara itu, ini membawa kecenderungan
kepada masalah/konflik baru. Contoh;
Maaf, sering terjadi kasus dari kepanitiaan ber-yajna yang orientasinya keuntungan (profit orientit), sehingga sering terjadi harga kunyit naik menjadi harga kucit (babi). Demikian juga halnya umat
yang lain, ada juga yang hanya cuci tangan tetapi dalam hal nunas prasadam tidak ada yang mau kalah,
semua memiliki “daya juang” yang
tinggi, “apa ada juang”, semua ingin
dapat bagian yang lebih dari yang lain.
Fenomena-fenomena yang
terjadi akibat dari ketidak seimbangan antara aspek kognitif, apektif dan psikomotor
yang dimiliki oleh orang ber-agama di atas harus menjadi bahan renungan bagi
kita semua, bahwa mestinya mulai sekarang mari latih diri kita untuk beragama
secara seimbang dengan meramu ketiga aspek itu. Terkait dengan itu mari kita
berguru kepada sastra, di antaranya sebagai bahan renungan seperti Mantra/Sloka berikut ini:
1. Merujuk pada sumber Atharva Veda, ada ditegaskan sebagai
berikut:
“Satyam brhad rtam ugram diksa, tapo brahma yajna prthivim dharayanti”.
Terjemahannya,
“sesungguhnya kebenaran (satya), hukum (rta),
inisiasi (diksa), pengendalian indria
(tapa), pujian atau doa (brahma), pengorbanan (yajna) adalah yang menyangga bumi”( Atharva Veda XII.1.1).
Kutipan mantra tersebut secara
sederhana dapat dijelaskan bahwa ada enam langkah untuk menjaga/menyangga Bumi
(Alam Semesta), baik dalam perjalanan Atman
untuk menurunkan Jagadhita/Siva membumi (Siva Lingga) dan disaat perjalanan Atman menuju naik dalam kehidupan spiritualnya untuk Moksa (Atma Lingga).
2. Merujuk pada sumber Agastya Parwa, ada ditegaskan sebagai
berikut:
“Kalinganya: tiga
ikan karyamuhara swarga; tapa, yajna, kirtti,…lewih tekan tapa saken yajna,
lewih tekan yajna saken kirtti, ikan tigan siki prawrtti-kadharma naran ika,
kunan ikan yoga yeka nirwrtti-kadharma naranya”.
Terjemahannya.
“Ada tiga macam yang menyebabkan sorga, yaitu tapa, yajna, kirtti,…adapun keutamaan
dari pada tapa atau pengendalian diri
munculnya atau tumbuhnya dari yajna
atau persembahan atau pemujaan, sedangkan keutamaan dari pada yajna atau persembahan/pemujaan
munculnya dari kirtti atau
kerja/pengabdian, demikianlah ketiganya itu disatukan yang disebut prawrtti-kadharma, tetapi mngenai ajaran
yoga itu disebut dengan nirwrtti-kadharma”.
Kutipan sloka tersebut secara sederhana dapat
dijelaskan bahwa tentang tiga macam perbuatan (karma) yang menyebabkan seseorang dapat menciptakan sorga di dunia,
baik dalam dirinya, orang lain maupun seluruh sekalian alam (Bhuana Agung), ketiga perbuatan itu
disebut prawrtti kadharma, yaitu tapa, yajna, kirtti. Prawrtti kadharma ini gerakannya bersifat
eksternalisasi, artinya memiliki putaran keluar dengan menempatkan Bhuana Agung sebagai objek kajian. Yang
dimasud disini adalah bagaimana seorang secara eksternalisasi berusaha
menciptakan Jagadhita, untuk
membangun peradaban manusia lain (divine
society), linkungan sekitar dan
seluruh sekalian alam (divine ekosistem).
Sedangkan Nirwrtti kadharma
gerakannya bersifat internalisasi, artinya memiliki putaran kedalam dengan menempatkan
Bhuana Alit sebagai objek kajian.
Yang dimaksud disini adalah bagaimana seorang secara internalisasi berusaha
untuk mengintrospeksi diri (mulat sarira)
dalam bahasa yang lain adalah mayoga artinya
melakukan sebuah perenungan untuk membangun jiwa yang stabil.
3. Merujuk pada sumber Niti Sataka
dan Canakya Niti Sastra, ada
ditegaskan sebagai berikut:
“Orang bodoh mudah
diajari, orang berpengetahuan paham dengan hanya sedikit diberi petunjuk, sedangkan orang yang
memiliki sedikit ilmu pengetahuan merasa
dirinya paling pandai, Dewa Brahma sekalipun tidak dapat mengajarinya”(Niti Sataka,2).
“Ilmu pengetahuan adalah sahabat
dalam perjalanan, pengtahuan kebenaran/dharma adalah sahabat bagi orang yang
akan/sedang menemui ajal”(Canakya Niti
Sastra,15).
Berdasarkan Sloka di atas
memberikan sebuah pesan kepada umat manusia untuk menjadi manusia yang
berpengetahuan yang penuh dengan kebijaksanaan dan tidak menutup diri untuk
menerima kritik dan saran yang positif untuk membangun diri kearah kesempurnaan,
serta berpegang kepada sebuah slogan bahwa dalam hidup ini tidak lagi belajar
seumur hidup (long life education),
tetapi sampai dan saat kematianpun manusia harus terus berguru dan belajar,
belajar dan terus belajar. Agar saatnya kelak roh itu punya bekal pengetahuan
yang cukup untuk menuju alam kedewataan dengan
pikiran, perkataan, dan karakter kedewataan
pula (daivi sampad). Sehingga
setelah roh itu melinggih menjadi Bhatara
Hyang Guru tidak lagi hanya ngepongorin
pratisantana-nya (menyakiti keturunannya) saja, akibat dari roh itu tidak
punya bekal pengetahuan yang cukup di saat hidup dan disaat kematian,.
Kembali kepada tema yang dibicarakan pada kesempatan ini yaitu Membangun Keharmonisan Individual dan
Komunal dengan Bhakti Marga. Mengapa dengan
jalan Bhakti?, kenapa tidak dengan
salah satu jalan yang lain yang ada dalam Catur
Marga?, dengan Karma atau Jnana misalnya?. Karena Bhakti dalam Catur Marga apabila diandaikan sebuah rumah, Bhakti adalah
pondasinya. Bhakti berasal dari
bahasa sanskerta yaitu dari urat kata ‘Bhaj’
yang artinya hormat, sujud. Kemudian Bhakti
ini mengalami perluasan arti Bhakti
juga berarti kesucian, ketulus ikhlasan, olas asih, menyayangi, mencintai
karena unsur-unsur ini include di
dalamnya.
Sekarang coba mari kita
renungi, mengapa Bhakti itu adalah
pondasi dari Catur Marga itu?.
Seorang di jalan Karma, Jnana,
dan Raja, tidak akan berhasil dalam
jalan itu tanpa ada rasa Bhakti dalam
dirinya. Sebenarnya seorang mau ber-Karma,
menekuni Jnana, dan menekuni Raja Marga, karena paling tidak orang
itu punya rasa Bhakti terhadap
dirinya baik untuk kebutuhan sekarang maupun persiapan untuk dimasa yang akan
datang.
Bhakti Marga adalah salah satu dari ajaran Catur Marga. Catur Marga
adalah empat jalan untuk membangun keharmonisan untuk menuju kebahagiaan baik
secara vertikal maupun horizontal. Secara vertikal untuk membangun keharmonisan
antara manusia dengan Tuhan-nya, sehingga apabila ini dapat dibangun maka akan
muncul cahaya-cahaya ke-Ilahian dalam diri (divine
man). Secara horizontal untuk membangun keharmonisan antara manusia dengan
manusia yang lainnya dalam kehidupan sosialnya, sehingga muncul cahaya-cahaya
ke-Ilahian dalam kehidupan bermasyarakat atau kelompok tertentu (divine society). Selanjutnya membangun keharmonisan antara manusia dengan
lingkungannya, sehingga muncul cahaya-cahaya ke-Ilahian dalam lingkungan
sekitar (divine ekosistem).
Apabila keharmonisan dan
cahaya-cahaya ke-Ilahian itu dapat terus dibangun, maka konsep ajaran Siva Lingga yaitu konsep ajaran Siva membumi (mensorgakan dunia) seperti
dalam pelaksanaan upacara Ngenteg Linggih
dapat kita wujudkan. Tetapi sekarang jangankan untuk menciptakan sorga di bumi,
untuk memunculkan cahaya-cahaya ke-Ilahian dalam diri saja kita belum mampu,
bagaimana mau memberikan pibrasi positif kepada orang lain atau lingkungan,
yang ada adalah merasakan sorga dunia banyak.
Bagaimana rasanya sorga dunia, nano-nano…...?.
Terkait dengan
Membangun Keharmonisan Individual dan Komunal dengan Bhakti Marga, bahwa segala sesuatu yang kita lakukan oleh orang atau
kelompok apapun itu, dalam hidup ini harus didasari dengan rasa Bhakti, tanpa rasa Bhakti akibatnya akan membuat sebuah beban dan masalah baru yang
berujung pada sebuah konflik yang berbau sara dan anarkis. Intruksi bahwa
segala sesuatu yang kita lakukan dalam hidup ini harus didasari rasa Bhakti seperti apa yang tersirat dalam
pustaka suci Bhagavadgita, IX.27,
sebagai berikut;
“Yat karoshi yad asnasi,
yaj
juhoshi dadasi yat,
yat
tapasyasi kaunteya,
tat
kurushva madarpanam”.
Terjemahannya.
“Apapun yang kau kerjakan, kau makan, kau persembahkan,
kau dermakan, dan disiplin diri apapun kau laksanakan, lakukanlah swadharma itu, Kunti putra sebagai Bhakti
pada-Ku”.
Berdasarkan sloka Bhagavadgita di atas, ini
memberikan sebuah pesan bahwa disiplin apapun yang kita lakukan hendaknya
dilakukan dengan penuh rasa Bhakti.
Dalam sebuah instansi/lembaga tertentu; baik pimpinan maupun bawahan, kelompok
kerja yang satu dengan kelompok kerja yang lain, dalam kehidupan rumah tangga;
baik Suami maupun istri, orang tua dengan anak, dll. Hendaknya mereka semua melaksanakan swadharma-nya
masing-masing dengan penuh rasa Bhakti.
Apabila sudah demikian maka unsur-unsur Bhakti
seperti hormat, sujud, tulus ikhlas, mencintai, menyayangi, kesucian olas asih
akan dapat dibangun, kondisi ini akan dapat meredam fenomena-fenomena yang
terjadi seperti yang dikemukakan di atas.
Selanjutnya terkait
dengan Membangun Keharmonisan Individual
dan Komunal dalan sastra suci Hindu yakni dalam kitab Itihasa Ramayana yang
telah digubah dalam bentuk Kakawin
Ramayana Bab I sloka 3
menyebutkan Sang Dasaratha sebagai sosok manusia yang utama yang mampu
membangun keharmonisan bagi dirinya dan orang lain, dengan cara seperti
berikut.
“Gunamanta sang
Dasaratha, Wruh sira ring Veda, Bhakti ring Deva tan marlupeng pitra puja,
masih ta sireng swagotra kabeh”.
Terjemahannya.
“Bahwa Raja
Dasaratha adalah seorang pemimpin yang memahami pengetahuan suci Veda, taat beragama, Bhakti kepada Tuhan dan tidak melupakan
leluhur/pendahulu-pendahulunya, serta adil dan mengasihi seluruh rakyatnya.
Apabila semua orang sudah
dipenuhi dengan rasa Bhakti maka
secara perlahan-lahan akan bermuara pada ajaran agama Hindu yang sangat maha
agung, universal dan mulia bahwa sesungguhnya kita dituntun untuk membangun
persatuan dalam kebhinekaan/keanekaragaman (unity
in diversity), kita dituntun untuk menyadari bahwa sesungguhnya kita satu
hakekat (intisari) seperti yang di kumandangkan dalam sastra-sastra Hindu yang
kita yakini yaitu;
a.
Tat Tvam Asi, artinya
Aku adalah Kamu, Kamu adalah Aku.
b.
Vasu Daiva Kuthum Bhakam, artinya Kita ini adalah bersaudara, satu keluarga dalam seru sekalian
alam.
c.
Sarvam Khalu Idam Brahman, artinya Bahwa semua yang ada ini berasal dari dan atau bersumber dari Brahman (Tuhan).
Apabila semua orang sudah
menyadari, kemudian melaksanakan pesan dan intruksi sesuai dengan petunjuk
sastra-sastra agama yang kita yakini, maka sesuai tema pada kesempatan ini,
maka keharmonisan individual dan komunal dapat diwujudkan. Untuk itu mari
laksanakan Dharma Agama dan Dharma Negara kita berangkat dari
membangun keharmonisan baik secara individu maupun secara komunal dengan bhakti marga, karena dengan bhakti dan harmonis itulah konsep
mensorgakan dunia seperti filsafat yang terkandung dalam ajaran Siva Lingga dapat kita wujudkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar